Ketika dolar Amerika menguat dengan angkuh mendekati Rp17.000, suasana ekonomi menjadi panas, pengap, dan bikin pusing kepala. Di tengah kekacauan ini, satu benda berkilau kembali jadi rebutan yakni emas. Bukan emas Olimpiade tapi logam mulia yang katanya aman saat dunia tak aman.
Emas, si kuning kinclong yang dulu dibeli emak-emak sebagai perhiasan kini naik kasta jadi primadona investasi untuk mengamankan aset. Harga emas pun terus mencetak rekor tertinggi baru dan memicu warga berlomba-lomba berburu logam mulia ini. Apakah berburu emas ketika harga meroket adalah keputusan cerdas atau justru langkah gegabah?
Dalam beberapa waktu terakhir, tren masyarakat membeli emas dalam jumlah besar terus berlanjut. Ketidakpastian ekonomi global akibat gejolak geopolitik dan fluktuasi harga komoditas membuat emas kembali menjadi pilihan investasi yang aman dan stabil. Emas dikenal sebagai investasi safe haven karena mampu mempertahankan nilai di tengah tekanan inflasi dan gejolak pasar.
Hanya saja, emas bukan instrumen yang tepat ketika masyarakat ingin mendapatkan easy money. Deposito, surat berharga negara, reksadana, hingga saham bisa menjadi pilihan bagi para investor untuk mendapatkan imbal balik lebih cepat dan menguntungkan. Namun masyarakat tetap antusias memburu emas dari butik hingga platform daring. Banyak yang membeli emas hanya karena ikut-ikutan atau terbujuk tren media sosial.
Direktur Utama PT Pegadaian Damar Latri Setiawan mengimbau masyarakat untuk berinvestasi emas bukan hanya karena ikut-ikutan atau fear of missing out (FOMO). “Jadi, dalam waktu dekat perlu diperhatikan pengaruh fundamentalnya. Tapi, untuk jangka panjang insya Allah emas pasti naik,” kata Damar.
Galeri 24, anak perusahaan PT Pegadaian, mencatat peningkatan tajam permintaan emas. Dalam periode enam hari, 8 hingga 13 April 2025, penjualan emas batangan melampaui 250 kilogram, sementara penjualan perhiasan emas mencapai lebih dari 6 kilogram. Gerai-gerai Galeri 24 di berbagai wilayah pun ramai dikunjungi pembeli.
Damar mengungkapkan transaksi produk Tabungan Emas mengalami lonjakan hingga empat kali lipat dibandingkan bulan sebelumnya. Pegadaian yang menawarkan berbagai produk seperti Tabungan Emas dan Cicilan Emas, lanjutnya, menyambut baik antusiasme masyarakat terhadap investasi emas.
Peningkatan transaksi tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik, tetapi juga melalui platform digital. Sepanjang April 2025, transaksi Tabungan Emas naik drastis dari rata-rata Rp380 miliar menjadi Rp1,5 triliun. “Kami optimistis jumlah ini bisa meningkat hingga sepuluh kali lipat di akhir bulan,” ujar Damar.
Ia juga menekankan bahwa seluruh transaksi emas di Pegadaian dijamin dengan ketersediaan emas fisik secara penuh menggunakan sistem 1:1. Selain itu, produk seperti Cicilan Emas dan Tabungan Emas terus mendapatkan sambutan positif dari masyarakat.
“Masyarakat tidak perlu khawatir karena dalam setiap transaksi, baik Cicilan Emas maupun Tabungan Emas, Pegadaian telah menyediakan emas fisik sesuai jumlah gram yang dibeli nasabah,” tambahnya.
Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengingatkan masyarakat yang tertarik berinvestasi emas untuk memastikan keaslian atau authenticity dari emas yang dibeli, terutama bagi yang ingin membeli pada toko emas konvensional.
Direktur Pengembangan Lembaga Pembiayaan Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan LJK Lainnya OJK, Hari Gamawan menyatakan toko emas konvensional bukan merupakan lembaga jasa keuangan, sehingga OJK tidak memiliki kewenangan untuk mengawasinya.
“Kalau LJK (Lembaga Jasa Keuangan) seperti PT Pegadaian yang menjalankan kegiatan bullion, itu akan diawasi. Untuk toko emas, apakah OJK akan melakukan pengawasan? Tentu tidak, karena mereka tidak dalam cakupan atau diklasifikasikan sebagai LJK,” ujar Hari.
Untung atau Buntung?
Pertanyaannya, apakah berburu emas di tengah lonjakan harga yang tinggi bakal menjanjikan untung atau buntung? Bagi mereka yang sudah memiliki emas sejak harga masih rendah, saat ini adalah waktu panen. Namun bagi pembeli baru, situasinya tak sesederhana itu. Harga emas bisa fluktuatif, terutama dalam jangka pendek.
Contohnya, Regina, seorang pegawai pemerintahan asal Jakarta, membeli emas batangan 10 gram saat harga Rp1,9 juta per gram. Namun belakangan, harga emas justru tidak meningkat dan malah mengalami penurunan hingga beberapa persen. “Saya beli karena teman bilang pasti naik terus. Tapi dua minggu kemudian, harga stagnan bahkan turun beberapa rupiah. Saya jadi panik,” ujarnya.
Sementara Tati, seorang pengusaha, mengungkap kebiasaannya membeli emas membuahkan keuntungan berlipat. Ia mengaku kerap memberikan hadiah untuk dirinya sendiri dengan membeli emas rutin mulai dari harganya yang masih berkisar Rp500 ribuan per gram hingga sekarang menyentuh angka Rp2 juta per gram.
“Awalnya rutin beli emas karena sebagai self-reward, koleksi emas batangan sama perhiasan. Tapi tidak terduga sekarang harganya melejit dan jadi menguntungkan buat investasi kalau sewaktu-waktu butuh dana untuk usaha saya,” ungkap Tati.
Membeli emas saat harga tinggi perlu pertimbangan matang jangan sampai karena tren ikut-ikutan alias FOMO. Emas memerlukan biaya cetak dan pajak saat membeli maupun dan menjual emas sehingga menggerus harga dan keuntungan.
Masyarakat mesti bijak menempatkan logam mulia sebagai instrumen investasi. Berburu emas bisa jadi untung, asal tahu waktunya dan paham risikonya. Seperti kata pepatah, ‘Jangan ikut menanam kalau tak tahu musim panen’.
Kalau tujuannya investasi jangka panjang, emas masih bisa diandalkan untuk mengamankan aset. Tapi kalau berharap easy money atau cuan cepat, mending balik arah, karena emas bukan jawabannya.