Segala hal ku upayakan untuk melindungi
Tunggu aku kembali lagi esok pagi
Selalu janjiku pada dirimu
Tumbuh lebih baik, cari panggilanmu
Jadi lebih baik dibanding diriku
(Nina, .Feast)
Orang tua selalu berhadap dapat melindungi anak-anaknya. Tekad yang diikrarkan orang tua yang bijak agar anak-anaknya tumbuh lebih baik. Nampaknya itu pesan yang ingin disampaikan oleh grup band .Feast dalam lagu berjudul “Nina.” Lirik yang disampaikan oleh .Feast tersebut juga dirasakan dan menjadi aspirasi bagi orang tua masa kini. Tak mengherankan jika lagu tersebut laris manis didengar di berbagai platform streaming digital.
Pengasuhan anak semakin kompleks di hari-hari ini. Menjadi orang tua semakin menantang, setidaknya itu yang saya dan istri rasakan. Tulisan ini didasarkan pada keresahan-keresahan personal yang kami rasakan. Saya rasa, di zaman kapan pun, perlu ketangguhan untuk menjadi orang tua yang solid menemani anak, sebab orang tua harus memiliki multi-kapital agar dapat melindungi anak-anak mengarungi zaman yang penuh ketidakpastian.
Untuk keluarga yang memiliki akses informasi, akses terhadap berbagai konten pengasuhan, baik digital maupun non-digital, dapat dengan mudah diraih. Sebaliknya, untuk keluarga dengan kapital ekonomi yang minim, konten pengasuhan tersebut bukan hal yang mudah didapat. Pola pengasuhan yang dilakukan pun akhirnya berbasis pada kapital yang dimiliki. Kapital di sini dapat diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki orang tua, juga terkait dengan konteks ekonomi yang ada di masing-masing keluarga. Bagi yang memiliki akses, nampak ada kegamangan, pola asuh mana yang tepat untuk menemani tumbuh kembang anak-anak mereka.
Keluarga dengan kapital memadai memiliki berbagai bantuan untuk mendampingi anak-anak mereka. Bahkan, dalam salah satu podcast terkenal di YouTube, ada wawancara dengan seorang Parent Mentor, yang membantu orang tua dengan relasi yang kurang baik dengan anak-anak mereka. Parent Mentor ini membantu orang tua untuk menjalin relasi yang lebih bermakna dengan anak-anaknya. Masalah yang dihadapi orang tua kini memang lebih bervariasi. Tentu saja, saya menduga mereka yang memanfaatkan jasa Parent Mentor adalah orang tua dengan penghasilan memadai, sehingga mereka “berani” dan “mau” mengalokasikan dana yang tidak sedikit untuk kembali menjalin relasi yang lebih baik dengan anak-anak mereka. Lalu, bagaimana dengan keluarga-keluarga marjinal? Apakah mereka harus pasrah menghadapi perilaku anak-anak yang semakin sulit untuk ditangani?
Usaha, Tirakat, Perjuangan
Apakah ketika keluarga memiliki berbagai keterbatasan, mereka akan memiliki visi dan upaya minimalis terkait pengasuhan anak-anak mereka? Tentu tidak sepenuhnya seperti itu. Kita sering melihat kekuatan tirakat orang tua dalam mengasuh anak-anak mereka. Meskipun dengan berbagai keterbatasan, anak-anak mereka dapat melompat lebih tinggi dan berhasil dalam kehidupannya. Orang tua tipe ini berusaha berjuang agar anak-anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik daripada mereka. Usaha, tirakat, dan perjuangan teguh mereka menemani perjalanan berliku kehidupan anak-anak mereka.
Namun, kita juga mafhum bahwa mereka harus melipatgandakan semua kapital yang minim. Usaha keras berlapis ini menjadi harapan agar anak-anak mereka dapat meraih kehidupan yang lebih baik. Berbagai upaya pun dilakukan agar anak-anak mereka tak “bernasib” seperti diri mereka saat ini. Jika bertemu dengan para orang tua saat melakukan riset, sering muncul ungkapan, “Jangan sampai deh, Pak, mereka seperti kami, orang tua yang hidupnya sulit seperti kami.” Tak mengherankan jika kita melihat orang tua yang bekerja ekstra dan lebih keras untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka.
Pada akhirnya, niat dan upaya orang tua yang tangguh ini amat sangat menentukan dukungan mereka untuk anak-anak mereka. Dalam konteks pendidikan, misalnya, saya pernah berbicara intensif dengan salah satu orang tua yang berusaha agar anaknya mendapatkan tambahan pembelajaran melalui bimbingan belajar seperti teman-temannya, sehingga sang anak dapat masuk ke sekolah atau kampus yang lebih unggul secara akademik. Tentu saja anaknya tak bisa ikut bimbingan belajar yang sama dengan teman-temannya, karena harus mengeluarkan biaya yang tak murah. Sang orang tua pun mencari alternatif bimbingan belajar yang lebih terjangkau. Anak tersebut kini sudah berada di perguruan tinggi negeri yang ditargetkan. Bukan upaya mudah bagi sang orang tua, tetapi terlihat jelas bahwa ia yakin pendidikan adalah harapan terbaik untuk membawa anaknya tumbuh lebih baik dibanding dirinya.
Saya juga mengenal sosok orang tua yang membawa anaknya untuk mengenal dunia sekitar dengan lebih baik. Dengan upaya keras, kedua orang tuanya membawa sang anak mengunjungi berbagai tempat seperti museum dan lokasi wisata. Hal tersebut ditujukan agar anak-anaknya dapat merasakan pengalaman pribadi mengunjungi banyak tempat, sehingga dapat meningkatkan wawasan dan imajinasinya terkait berbagai hal. Di era kini, melakukan berbagai perjalanan tentu saja membutuhkan biaya yang tak sedikit, namun saya melihat bahwa sosok yang saya kenal ini percaya, tak ada kerugian mengenalkan anak-anaknya dengan dunia yang berbeda dari keseharian mereka, karena itulah pendidikan terbaik yang diyakininya untuk menjadi kekuatan anak-anaknya.
Komunikasi
Itu baru dua kisah singkat, dan tentu saja ada berbagai pola yang dilakukan oleh orang tua untuk membesarkan anak-anak mereka. Mereka membesarkan anak-anak mereka tidak semata dengan hitung-hitungan kapitalistik di mana ada investasi yang dikeluarkan dan berharap return on investment yang diraih, seperti yang sering dibahas dalam perspektif human capital. Perjalanan terjal pun dijalani dengan ketekunan dan ketabahan, meskipun dengan berbagai ketidaksempurnaan menemani anak-anak mereka.
Namun, satu hal yang saya pelajari adalah bagaimana para orang tua ini mampu berdialog dengan anak-anak mereka. Mereka mampu berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Tak heran jika Biesta (2013) menulis, “Education operates by means of communication,” pendidikan “beroperasi” melalui komunikasi. Jika saya coba mengganti kata “pendidikan” dengan “pengasuhan,” maka pengasuhan dapat berjalan optimal ketika ada komunikasi antar orang tua dan anak-anak. Jadi, ketika orang tua menghadapi pergulatan ekonomi, sang anak pun mengerti bahwa bapak/ibu mereka berjuang untuk mereka. Mereka pun kemudian memahami perjuangan sang orang tua. Perjuangan yang didedikasikan untuk mereka. Di sini, jalinan emosional tersambung dan kasih sayang terungkap, meskipun tidak selalu melalui kata-kata. Koneksi raga dan batin pun semakin membuat visi pengasuhan orang tua tersampaikan kepada anak.
Jika memperhatikan situasi kini, berdialog dengan anak bukan perkara mudah. Tak mengherankan jika sampai muncul Parent Mentor yang membantu orang tua menjalin komunikasi dengan anak-anak mereka. Tentu, akhirnya ada ekstra anggaran rumah tangga yang harus dikeluarkan, dan ini menjadi penanda bahwa tidak semua orang tua bisa mendapatkan bantuan dari Parent Mentor. Di luar konteks tersebut, ketika tidak ada komunikasi antar orang tua dengan anak, ragam persoalan akan dengan mudah timbul dan akhirnya sulit untuk diselesaikan. Sebab, orang tua tak tahu apa yang diinginkan anak, dan demikian pula sebaliknya. Jika demikian, tidak ada keselarasan frekuensi. Tak mengherankan jika selalu ada relasi yang bersifat konfliktual antara orang tua dan anak, berita yang kemudian seolah biasa saja di era kini. Apalagi dengan tambahan berita negatif soal jeratan kriminalitas, narkoba, tawuran, perundungan, jalinan asmara yang belum waktunya, dan jenis perilaku destruktif lainnya.
Ketika menjadi guru, tak jarang saya menemui orang tua yang “ambis” (baca: berambisi) sekali agar anaknya berprestasi, tanpa memikirkan apakah anaknya mampu dan mau. Pernah seorang anak mendatangi saya karena nilainya 80, nilai yang saya anggap sudah sangat bagus, tetapi orang tuanya tidak puas karena nilai anaknya “hanya” sebesar itu. Dari pengalaman itu saya selalu berefleksi tentang relasi anak dan orang tua. Anak berprestasi tentu bagus, apalagi jika memiliki etos yang tangguh untuk meraihnya. Orang tua berambisi juga tidak selalu negatif. Namun, ada dua hal yang harus selalu dipegang. Pertama, apakah sudah ada komunikasi antara orang tua dan anak terkait perjalanan anak di bidang akademik atau bidang lainnya? Kedua, apakah orang tua berupaya dengan teguh untuk menemani perjalanan anak, tak hanya menuntut “ini” dan “itu,” dengan kata sakti, “pokoknya kamu harus melakukan ini dan itu.”
Jika titik tolak awalnya anak diposisikan sebagai anugerah, tentu orang tua akan terus berupaya merawat mereka dengan penuh kasih. Namun, ketika cara pandang terhadap anak diposisikan sebagai kapital, komoditas, sebagai investasi, sebagai masa depan, akan ada tendensi dan proyeksi yang selalu dibebankan kepada anak. Kecemasan dan kekhawatiran orang tua pun akan selalu hadir, sebab prestasi anak akan selalu menjadi yang utama. Demikian juga kondisi di mana anak-anak selalu dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga lain. Posisi ini juga yang menyebabkan ketidakpuasan dari orang tua, karena mereka selalu melihat anak-anak orang lain selalu lebih baik daripada anak-anak mereka sendiri. Orang tua pun semakin resah dan gelisah, sehingga perlombaan untuk membesarkan anak, dalam nada yang negatif, terus terjadi. Akhirnya, anak-anak menangkap frekuensi negatif, meskipun tujuan orang tua pada dasarnya baik. Di momen ini lah ketidakselarasan terjadi, akibat dialog yang tidak terjalin secara optimal.
Ayo Terus Belajar
Menjadi orang tua adalah pembelajaran yang tak pernah usai. Saya merekomendasikan salah satu referensi menarik berjudul “Ayo Nak!” Menggali Pola Asuh bagi Generasi Digital karya Muhammad Faisal dan Tara Talitha. Dalam buku tersebut disampaikan beberapa poin penting tentang pengasuhan. Pertama, warna pola asuh kini yang serba kapitalistik, menjadikan anak sebagai target pasar, kompetisi tinggi, FOMO, dan penuh nuansa digitalisasi. Kedua, adanya variasi dalam pola pengasuhan, baik yang didasarkan pada referensi asing (Asia, Skandinavia, Eropa, maupun Amerika Serikat) dan nilai-nilai, kearifan, serta praktik pola asuh generasi sebelumnya. Ketiga, anak-anak kini dihadapkan dengan tantangan akademik, dunia kerja, depresi, maupun gangguan makan (eating disorder).
Keempat, adanya tantangan, tuntutan, nilai-nilai, cita-cita, dan hubungan sosial yang memengaruhi pola asuh hari ini. Kelima, pentingnya internalisasi disiplin, komitmen, daya tahan, mentalitas, adaptasi, dialog, rasa percaya, mindfulness, dan detox digital dalam pengasuhan saat ini. Keenam, saya merasa ini yang paling penting diingat para orang tua, kedua penulis menyatakan tidak ada pola asuh yang paling unggul, yang paling penting adalah bagaimana pengasuhan yang memberi ruang untuk mengenal emosi sendiri, keterampilan sosial, nilai luhur, kebahagiaan, kemandirian, dan karakter.
Jika membaca buku tersebut, kita akan merasakan bahwa kita menghadapi situasi yang penuh tekanan. Oleh karena itu, orang tua harus terus belajar memahami bagaimana dunia kini bekerja dan akhirnya dapat memahami anak-anak mereka. Setelah itu, pola pengasuhan yang tepat dapat diterapkan di ruang keluarga masing-masing, berdasarkan kekhususan dan kondisi yang ada. Buku ini juga mengkritisi bagaimana kita memandang pola asuh yang ada saat ini serta memberi pengetahuan dan alternatif diskursus mengenai pengasuhan.
Tentu saja membaca buku menjadi kemewahan tersendiri bagi orang tua yang memiliki akses dan keinginan untuk terus memperbarui wawasan dalam menemani anak-anak. Yang menantang adalah bagaimana secara struktural, wawasan-wawasan tentang variasi pengasuhan, serta penggalian nilai-nilai masa lalu yang dapat diterapkan di situasi kini, menjadi sangat penting. Khususnya bagi para orang tua yang memiliki keterbatasan, dukungan struktural dari pemerintah menjadi sangat penting. Jika kita berharap pada Indonesia Emas, pemerintah tak boleh menyerah menemani para orang tua mendidik anak-anak bangsa.