BI Tahan Suku Bunga Tinggi, Hati-hati Rupiah Nyungsep Pasca Libur Panjang


Keputusan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga tinggi di level 5,75 persen merespons bank sentral AS (The Fed), dikhawatirkan berdampak kepada pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS (US$).

Mengacu data realtime Bloomberg, rupiah NDF pada sesi perdagangan Eropa Senin (12/5/2025), diperdagangkan di kisaran Rp16.706/US$ pada pukul 15.33 WIB. Atau melemah 0,7 persen dibanding harga pekan lalu.

Kisaran Rp16.700-an juga jadi level rupiah offshore terlemah sejak terakhir terjadi pada 29 April lalu di posisi Rp16.729/US$. Kemudian bakal kembali melemah setelah libur panjang Waisak, atau pada perdagangan Rabu (14/5/2025).

Senior Chief Economist Samuel Sekuritas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi memperkirakan BI, akan tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 5,75 persen untuk beberapa waktu ke depan.

Bahkan jika sinyal The Fed tidak mendesak untuk melakukan pelonggaran dan risiko inflasi meningkat karena tarif global dan tekanan mata uang, BI kemungkinan mempertahankan suku bunga acuannya hingga awal 2026.  “Bagi Indonesia, sikap Fed secara efektif mempersempit ruang manuver kebijakan,” kata Fithra.

Dia menjelaskan, meski keputusan The Fed nampak dovish, namun keputusan tersebut tidak memberi banyak keuntungan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Dengan suku bunga AS tidak berubah, volatilitas pasar keuangan dapat diredam sementara waktu. Namun di sisi lain juga menandakan berkurangnya prospek penurunan suku bunga jangka pendek sehingga hanya menyisakan sedikit ruang bagi BI untuk melonggarkan sikap moneternya.

Selain itu, suku bunga AS yang tetap tinggi ditambah risiko geopolitik yang masih membebani sentimen investor, akan memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah dan arus modal asing berisiko keluar dari Indonesia.

“Terutama jika Fed bersikap lebih agresif karena inflasi yang terus-menerus,” tambahnya.

Alhasil kondisi tersebut membuat BI terjebak dalam posisi yang sulit antara menjaga stabilitas rupiah atau memberikan stimulus ekonomi. Mengingat perlunya mengelola stabilitas mata uang dan stimulus, terutama karena pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal I-2025 melambat 4,87 persen dan menjadi yang terlemah sejak 2021.

Namun, dengan kebijakan AS yang tetap ketat ditambah dengan melemahnya yuan terhadap mata uang regional, BI tidak mungkin menurunkan suku bunga tanpa risiko depresiasi rupiah lebih lanjut dan inflasi impor, khususnya dari logistik yang lebih tinggi yang disebabkan oleh efek tarif.

“Setiap pemotongan suku bunga prematur dapat memicu pelarian modal dan semakin melemahkan rupiah, yang telah menghadapi tekanan depresiasi di tengah penghindaran risiko global,” ucapnya.