Biar Bonus Demografi 2030 tak Sia-sia, 3 Cara Ini Harus Dilakukan Pemerintah


Muhammad Anwar, Peneliti dari Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), menyarankan agar dalam menghadapi bonus demografi 2030, pemerintah meninggalkan pendekatan yang bersifat tambal sulam dan seremonial. Sebab dibutuhkan strategi besar, terintegrasi, dan berpihak kepada masyarakat, khususnya generasi muda yang akan menjadi ujung tombak produktivitas nasional.

Komentar itu disampaikan merespon pidato monolog Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka yang disiarkan di kanal YouTube Wakil Presiden Republik Indonesia pada 19 April 2025. Dalam pidato itu, Gibran menyoroti harapan besar terhadap kekuatan usia produktif, khususnya generasi muda, dalam mendorong kemajuan ekonomi.

Menurut Anwar, setidaknya ada tiga strategi yang patut dijadikan prioritas pemerintah terkait dengan bonus demografi 2030. Pertama, reformasi bidang pendidikan dan pelatihan vokasi yang berbasis kebutuhan riil.

“Pendidikan di Indonesia masih sangat teoritis dan jauh dari dunia kerja. Kurikulum harus ditinjau ulang agar menghasilkan lulusan yang tidak hanya ‘siap kerja’, tetapi juga ‘siap beradaptasi’ dalam dunia yang cepat berubah,” kata Anwar kepada Inilah.com, Jumat (25/4/2025).

Pemerintah perlu memperluas akses terhadap pelatihan vokasi, kursus teknis, hingga pendidikan tinggi terapan, khususnya bagi anak-anak muda dari keluarga miskin yang selama ini tertinggal. Jika tidak, mereka akan menjadi penonton di tengah geliat pertumbuhan ekonomi.

Kedua, mempercepat reindustrialisasi dan penciptaan lapangan kerja berkualitas. Selama ini, pertumbuhan ekonomi lebih banyak disumbang sektor-sektor non-tradable yang menyerap sedikit tenaga kerja, seperti jasa keuangan atau digital.

Terkait dengan ini, pemerintah harus mendorong industri manufaktur dan agroindustri yang padat karya dan bernilai tambah tinggi. Insentif fiskal harus diarahkan untuk industri yang menyerap tenaga kerja muda dan memberikan pelatihan berkelanjutan. UMKM pun perlu dimodernisasi dengan teknologi dan akses pasar yang lebih luas agar bisa menjadi alternatif pekerjaan yang layak.

Ketiga, membangun ekosistem kewirausahaan yang inklusif. Sebab banyak anak muda ingin berwirausaha, tetapi terhambat minimnya akses permodalan, pasar, dan pendampingan.

“Pemerintah harus mengintervensi dengan program pembiayaan mikro yang tidak membebani, inkubasi bisnis berbasis komunitas, dan akses pasar digital. Penting juga menjamin bahwa startup bukan hanya milik segelintir lulusan kota besar, tapi juga anak-anak muda di desa dan kota kecil,” ujar Anwar.