Blokade Israel Perparah Krisis Air Selama Ramadan di Gaza


Setiap kali fajar menyingsing selama bulan Ramadan, Emad al-Hadad akan berdiri di trotoar yang telah hancur di Gaza City, kota terbesar di wilayah Jalur Gaza, dengan tatapan tertuju ke ujung jalan.

Ayah tujuh anak berusia 43 tahun itu tidak sedang menunggu kedatangan keluarga atau sahabat, namun kargo yang berharga, yakni truk tangki air yang akan melintas di jalanan rusak tersebut. Kedatangan truk itu tidak menentu seperti halnya aliran listrik di wilayah kantong yang terkepung tersebut.

“Mendapatkan air minum yang bersih menjadi perjuangan sehari-hari. Ini terutama terjadi karena kebutuhan air yang mendesak usai azan Magrib, saat warga berbuka puasa setelah berjam-jam tanpa (meminum) air,” ujar al-Hadad kepada Xinhua dengan suara yang terdengar letih.

Krisis air itu, yang sebelumnya telah parah lantaran blokade bertahun-tahun, kini kian memburuk akibat perang Oktober 2023. Saat pasokan jaringan listrik di Gaza terputus, pabrik-pabrik desalinasi berhenti beroperasi. Padahal pabrik-pabrik tersebut memproduksi air tawar layak konsumsi atau irigasi bagi lebih dari 2 juta warga Gaza.

Setelah publik internasional menekan selama berbulan-bulan, Israel mengizinkan sedikit aliran listrik untuk disalurkan ke pabrik-pabrik desalinasi di Gaza tengah dan selatan. Namun, kelonggaran blokade itu hanya berlangsung singkat.

Pemadaman listrik baru-baru ini telah menyeret wilayah kantong itu kembali ke dalam keadaan darurat yang kian parah, dengan meningkatnya permintaan selama Ramadan yang dibarengi kelangkaan yang mencekik.

post-cover
Seorang ayah yang ditemani anak-anaknya tampak mengambil air bersih di Deir al-Balah, Jalur Gaza. (Foto: Xinhua/Marwan Dawood)

“Ini menjadi lebih sulit dari sebelumnya,” tutur al-Haddad. “Selama Ramadan, kami membutuhkan lebih banyak air dibandingkan waktu-waktu lainnya, baik untuk berpuasa atau untuk menyiapkan hidangan berbuka dan sahur.”

“Namun, waktu operasional pabrik desalinasi menjadi lebih singkat, dan jumlah truk tangki air yang datang juga lebih sedikit. Kami tidak tahu berapa lama hal ini akan berlangsung,” lanjut dia.

Sementara itu, Abdul Salam Yassin, pejabat di salah satu pabrik desalinasi air di Gaza, mengatakan bahwa pihaknya sedang berupaya melanjutkan pengoperasian pabrik desalinasi, namun kelangkaan listrik dan bahan bakar menjadikannya sangat sulit.

“Jika hal ini berlanjut, kami mungkin harus menghentikan produksi sepenuhnya, dan hal itu akan menyebabkan warga tidak memperoleh akses air selama Ramadhan,” tutur Yassin kepada Xinhua.

Di seluruh Gaza, keluarga-keluarga saat ini menghemat setiap tetes air. Fasilitas-fasilitas desalinasi, yang beroperasi kurang dari 20 persen dari kapasitas normal, mengalami kesulitan karena kelangkaan bahan bakar dan aliran listrik yang tidak menentu.

Truk-truk bantuan kemanusiaan mengirim pasokan secara sporadis, tetapi kalkulasi matematisnya begitu menyedihkan. Pada kenyataannya, mulut yang harus diberi minum lebih banyak, sedangkan sumber daya yang bisa disalurkan lebih sedikit.

post-cover
Perempuan Palestina mengambil air untuk keperluan sehari-hari mereka selama bulan puasa di tengah reruntuhan di kamp pengungsian Jabalia di Jalur Gaza. (Foto: Xinhua/Rizek Abdeljawad)

Bagi banyak orang, air yang telah terkontaminasi pun menjadi kebutuhan, sebuah fakta yang memprihatinkan. Laila Abu Hamdan, ibu empat anak berusia 38 tahun di Khan Younis, Jalur Gaza selatan, menguraikan bahwa dia merebus persediaan air kota yang tidak aman untuk mengurangi risiko terhadap kesehatan.

“Anak-anak saya mengeluh sakit perut, dan saya tahu penyebabnya adalah air yang terkontaminasi,” ujarnya. “Namun harga air bersih sudah terlalu mahal.”

“Sebelum keputusan Israel dibuat, saya dapat menyediakan air yang cukup untuk para pelanggan saya,” ujar Fadi Abu Snouna, 35 tahun, pengemudi truk tangki air di lingkungan permukiman Al-Daraj di Gaza City, kepada Xinhua.

“Namun saat ini, saya hanya memperoleh seperempat dari jumlah yang biasa saya terima. Selama Ramadan, orang-orang membutuhkan lebih banyak air untuk berbuka dan sahur, namun saya harus meminta maaf kepada para pelanggan saya karena air tidak tersedia,” imbuhnya.

Kerugian finansial yang ditimbulkan begitu besar. Harga air bersih melonjak lebih dari dua kali lipat sejak meletusnya perang. Keluarga-keluarga seperti keluarga Mohammed Abdullah di Jalur Gaza utara kini harus membayar sekitar US$20 per pekan. 

Jumlah tersebut terbilang tidak sedikit bagi warga Gaza, di mana tingkat pengangguran di wilayah itu menurut data terbaru Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tercatat hampir 80 persen.

“Ini beban yang sangat besar, terutama selama Ramadan, ketika kami membutuhkan lebih banyak air untuk menyiapkan hidangan berbuka dan sahur,” kata Abdullah, 29 tahun, ayah dua anak asal Beit Lahia, kepada Xinhua.

post-cover
Seorang bocah Palestina mengambil air untuk keperluan sehari-hari mereka selama bulan puasa di tengah reruntuhan di kamp pengungsian Jabalia di Jalur Gaza. (Foto: Xinhua/Rizek Abdeljawad

Para pejabat kesehatan saat ini memperingatkan soal bencana yang mengintai.

Khalil al-Daqran, juru bicara otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza, melaporkan lonjakan penyakit hepatitis dan gastrointestinal yang berkaitan dengan air tercemar.

“Air yang tersedia saat ini tidak sepenuhnya aman untuk diminum, namun warga tidak memiliki pilihan lain,” tutur al-Daqran kepada Xinhua.

“Apabila situasi ini berlanjut, kami mungkin akan menghadapi wabah penyakit yang meluas, yang akan kian membebani sistem perawatan kesehatan di Gaza yang telah kewalahan,” imbuhnya.