News

Blunder MK, Menteri Nyapres Tak Perlu Mundur Picu “Abuse of Power”

Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul menyebutkan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang menegaskan anggota kabinet maju pilpres cukup mengajukan cuti, tak perlu mundur, memicu abuse of power atau penyalahgunaan wewenang. Sebaliknya, MK sebagai pengawal konstitusi sepatutnya memerhatikan dampak dari putusan perkara nomor 68/PUU-XX/2022 dan korelasinya terhadap penyelenggaraan pemilu.

“Saya pikir ini keputusan yang buruk dan cenderung mengarahkan untuk sesuatu abuse of power,” tegas Adib kepada inilah.com saat dihubungi pada Rabu (2/11/2022).

MK menyatakan menteri atau pejabat setingkat menteri cukup mengajukan cuti saja jika maju menjadi capres atau cawapres. Adib menilai putusan tersebut keliru dan membuka ruang penyahgunaan wewenang karena menteri tersebut memiliki kewenangan anggaran yang nantinya bisa disalahgunakan untuk kepentingan nyapres.

“Sekarang begini ketika seseorang diberikan kewenangan, kekuasaan, kewenangan anggaran, ini bisa berpotensi abuse of power. Jadi saya kira keputusan MK ini keputusan yang blunder kalau menurut saya,” jelasnya.

Senada dengannya, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai putusan MK dalam perkara yang dimohonkan Partai Garuda hanya menguntungkan menteri atau pejabat setingkat menteri yang maju capres. Kendati putusan tersebut harus dihormati namun MK sejatinya harus memerhatikan dampak buruk atas putusan itu nantinya.

“Ya keputusan yang kurang pas, kurang cocok, dan kurang tepat. Ya tapi apapun itu ya harus kita hormati, karena walaupun tidak menguntungkan bagi rakyat, bagi publik ya, bagi bangsa, dan hanya menguntungkan bagi menteri-menteri yang bersangkutan,” terang Ujang.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button