Market

Blusukan Rawa Mangrove, Jokowi Ingin Segera Masuk Pasar Karbon

Presiden Jokowi menggencarkan bidang usaha baru bagi pemerintah, yakni pasar karbon. Pemerintah Indonesia berpeluang meraup penerimaan dari pasar karbon hingga ribuan triliun.

Mengenakan sepatu kets hitam kompak dengan warna celana, Jokowi berkaus putih berlengan panjang yang digulung, Jokowi tak segan merambah ‘rawa’ di Taman WIsata Alam (TWA) Angke Kapuk, Jakarta Utara, Senin (15/5/2023). Aksi kali ini adalah menanam mangrove.

Aktivitas nyemplung itu dilakukan bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, dan pejabat terkait lainnya dalam acara Puncak Penanaman Mangrove Nasional.

Karena harus nyemplung, para pejabat dan sekitar 1.000 prajurit itu harus merelakan badan mereka basah hingga paha bahkan ada juga yang basah sampai ke dada karena mendapat lokasi penanaman yang cukup dalam. “Yang mau wawancara ke sini,” kata Jokowi sambil mengayunkan tangan ke depan, ke arah wartawan yang mengambil gambar dari dermaga bambu tanpa kebasahan.

Setelah penanaman mangrove, Presiden Jokowi menyebut penanaman bakau ini adalah untuk melindungi pesisir Indonesia dari kemungkinan perubahan iklim sehingga air permukaan laut naik atau terjadi gelombang besar di pesisir.

“(Penanaman) ini menjadi puncaknya. Kita tahu kita memiliki mangrove terluas di dunia, 3,3 juta hektare hutan mangrove kita terbesar di dunia. Itu yang harus kita rawat, kita pelihara, kalau ada lahan kritis kita tanami kembali sehingga jangan sampai ada hutan mangrove kita yang rusak,” ungkap Jokowi.

Luas hutan bakau di Indonesia memang mencapai 3,31 juta hektare (ha) yang mampu menyerap emisi karbon sebesar 33 miliar karbon dioksida (CO2) atau 950 ton karbon/hektare. Indonesia juga termasuk negara dengan garis pantai terpanjang di dunia.

Selain mangrove, Indonesia juga memiliki hutan gambut terluas, yaitu 7,5 juta hektare, yang mampu menyerap emisi karbon sebesar 55 miliar ton dan juga hutan hujan tropis seluas 125,9 juta hektare yang dapat menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton.

Dengan ketiga kekuatan hutan tersebut, bukan saja Indonesia dapat terjaga dari perubahan iklim, melainkan juga memiliki potensi besar ekonomi dari perdagangan karbon.

Indonesia sendiri menargetkan penurunan emisi rumah kaca sebesar 29-41 persen pada 2030, dan komitmen nol emisi pada 2060. Bahkan, dalam Dokumen Kontribusi Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) yang ditingkatkan, Indonesia menargetkan pengurangan emisi 31,89-43,2 persen pada 2030.

Saat ini, pemerintah sedang menyiapkan regulasi perdagangan karbon. Sesungguhnya dasar hukum sudah ada yaitu berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang ditetapkan pada 12 Januari 2023.

Dalam Pasal 24 UU disebutkan bahwa perdagangan karbon dalam negeri dan/atau luar negeri dapat dilakukan dengan mekanisme bursa karbon. Bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pasar yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pusat bursa karbon berkedudukan di Indonesia.

Ketentuan selanjutnya untuk perdagangan karbon melalui bursa karbon akan diatur dalam Peraturan OJK setelah dikonsultasikan dengan DPR (Pasal 26).

Untuk membahas implementasi UU tersebut, pada 3 Mei 2023, Presiden Jokowi memimpin langsung rapat internal soal perdagangan karbon yang dihadiri oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, dan pejabat terkait lainnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button