Kanal

Borok yang Terkuak

Dalam sejarah Bangsa Indonesia, sejak merdeka, para presiden muncul dengan harapan besar dan apresiasi tinggi. Kita tidak bisa membantah mereka adalah putra dan putri terbaik bangsa.

Namun sejalan dengan fragmen kekuasaannya, paling tidak, ada 4 presiden yg mengalami masa akhir periode kekuasaannya dengan beragam kontroversi dan dalam perspektif lain. Bisa dipahami sebagai ‘turun tidak terhormat’.

Dua presiden terakhir, turun dengan proses yang ‘baik’ dan ‘indah’ dalam sistem demokrasi pascareformasi.

Apa yang membuat ‘baik’ dan ‘indah’? Baik, karena Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun dan naik sesuai dengan kaidah konstitusi. Sementara, indah, karena tata cara perebutan kekuasaan dan penyerahan kekuasaan tetap dimenangkan rakyat dan semata-mata untuk kesenangan rakyat juga.

Selain prosedur konstitusi, yang menjamin hak rakyat, peralihan kekuasaan sepanas apapun selama dijalankan dengan keyakinan bahwa konstitusi bukan memperjuangkan kepentingan segelintir elit atau memuaskan para oligarki, maka pemimpin menjadi harapan rakyat.

Dalam masa demokrasi ini yang mulai baik menemukan bentuknya, tiba-tiba mucul upaya dan ide penundaan pemilu atau penambahan masa kepresidenan. Sesuatu yang digagas oleh para pendukung dan influencer-nya sebagai bagian dari hal yang demokratis juga.

Sayangnya ide tersebut lahir dan tercetus dari para penikmat atau kelompok yang sedang berkuasa. Baik parpol maupun pengamat serta kelompok-kelompok masyarakat dan relawan tertentu.

Sehingga sukar untuk tidak mengatakan bahwa ini hanyalah upaya mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara formalistik dan prosedural.

Beragam alasan pastilah bisa dicari, namun ‘amis’ pemufakatan tak bisa dibendung. Situasi ini jadi mirip masa-masa akhir periode Presiden Sukarno dan Suharto. Sebagian elit yang merumuskan beragam hal demi melanggengkan kekuasaan, namun akhirnya terbongkar dan terjungkal.

Presiden Sukarno pernah dibohongi dan diberi ilusi dukungan dari kelompok Nasakom dan parlemen yang memberikan gelar paduka yang mulia presiden seumur hidup. Presiden Suharto pun sama, didatangi dan dijanjikan oleh partai penguasa saat itu, bahwa rakyat masih menginginkannya.

Kita semua tahu apa yang terjadi.
—-
Maka kalau Saya umpamakan bahwa ide soal penundaan dan perpanjangan itu sebagai sebuah borok yang laten dalam dimensi kekuasaan di Indonesia.

Sebab sering pertumpahan dan pertikaian terjadi antar anak bangsa karena upaya mempertahankan kekuasaan menabrak rambu-rambu kesepakatan rakyat.

Sejatinya pembatasan masa kekuasaan dan penyelenggaraan Pemilu setiap 5 tahun adalah jalan tengah demokrasi yang stabil di Indonesia, yang lahir dari keringat dan darah para aktivis reformasi, bukan karena mereka ingin berkuasa, namun karena mereka mencintai negeri ini.

Cinta yang memberikan kesempatan kepada para penikmatnya saat ini. Sulit membayangkan partai silih berganti menang dalam lima pemilu terakhir, presiden berganti tanpa membuat negara ini bubar dan berkonflik, bahkan tokoh-tokoh semacam Pak SBY dan Pak Jokowi bisa lahir menjadi presiden.

Semuanya karena kita melihat bahwa pembatasan itu dibuat karena cinta. Untuk menutupi borok akan syahwat kekuasaan yang membuat bangsa terjebak hanya untuk kepentingan elit tertentu, yang ujungnya adalah konflik yang tidak perlu.

Kalah-menang, naik dan turun adalah keniscayaan. Tetapi taat pada konstitusi yang dilahirkan karena cinta akan membuat bangsa ini terus ada sambil memperbaiki sedikit demi sedikit.

Ibu Megawati, Pak SBY telah memberikan teladan, bagaimana menjaga konstitusi buah perjuangan reformasi.

Kini, akankah ‘borok’ itu kembali diperjuangkan dan didengungkan?

Atau mereka akhirnya menyadari bahwa semua itu adalah kegaduhan dari kelompok penikmat kuasa?

Ingatlah ‘batasan’ adalah cinta.

Dan kuasa yang menerus adalah borok.

Widdi Aswindi
Bagian dari reformasi 1998.
Saat ini punya usaha sendiri dan aktif di partai politik

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button