Pelan tapi pasti, daftar perusahaan pelat merah yang masuk ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) terus bertambah. Akhir bulan lalu, seluruh BUMN masuk.
Berdasarkan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), terdapat 13 BUMN yang merupakan perusahaan terbuka masuk ke BPI Danantara. Nilai asetnya nyaris Rp7.000 triliun, atau tepatnya Rp6.913 triliun.
Ke-13 BUMN adalah PT Bank Mandiri (Persero/Bank Mandiri) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero/BRI) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero/BNI) Tbk, PT Bank Tabungan Negara (Persero/BTN) Tbk, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Adhi Karya (Persero) Tbk, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk.
Menariknya, sejumlah BUMN karya yang didera utang kakap juga masuk kelolaan BPI Danantara. Sebut saja, PT Waskita Karya (Persero/WSKT) Tbk yang bersandi emiten WSKT, masih harus menanggung utang jumbo sebesar Rp45,8 triliun.
Atau maskapai Garuda yang utangnya mencapai Rp10 triliun. Demikian pula Krakatau Steel yang berkode KRAS, utangnya tak kalah jumbo mencapai Rp22,61 triliun. Jelas ini bukan kabar baik untuk investor yang semua kepincut masuk ke Indonesia.
Direktur Center of Economic dan Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menilai, kebijakan BPI Danantara mengelola seluruh aset perusaan pelat merah (BUM), kurang tepat.
Menurutnya, sesuai dengan rencana awal BPI Danantara, sebaiknya mengelola BUMN dengan kinerja baik dengan kontribusi deviden yang paling besar.
“Kerena tujuan awal adanya Danantara adalah mengelola deviden dari BUMN agar semakin lama devidennya di investasikan semakin besar,” kata Bhima, dikutip Minggu (6/4/2025).
Bhima mengingatkan, tidak semua anak usaha BUMN memiliki kondisi keuangan yang sehat. Beberapa diantaranya justru keuangannya masuk kategori ‘sakit’.
Jika BUMN sakit ikut masuk dalam BPI Danantara, justru berdampak kurang baik dalam pengelolaan aset mendatang.
“Tidak bisa semuanya digabung karena akan tercampur aset dalam kondisi produktif, non produktif, aset yang akan menghilangkan return keuntungan dan justru akan menjadi beban keuangan,” pungkasnya.
Jika BUMN sakit justru didorong masuk BPI Danantara, Bhima mengkhawatirkan, harapan menggaet investasi masuk ke Indonesia, hanya menjadi ‘omon-omon’. “Apalagi investor yang mau join venture, karena pasti akan melihat profil risiko diBPI Danantara,” ujarnya.
Sebelumya, Menteri BUMN Erick Thohir menegaskan bahwa seluruh BUMN masuk BPI Danantara. Jadi, bukan hanya 7 atau 13 BUMN saja karena puya dividen jumbo.
Namun demikian, kata Erick, meskipun semua BUMN berada di bawah BPI Danantara, keputusan penggabungan dan penutupan BUMN masih berada di tangan Kementerian BUMN.
“Hak untuk merger, menutup, semua di BUMN tentu. Tapi kajiannya nanti Danantara akan bekerja sama. Karena ini kan sudah mulai dipisahkan antara kebijakan dan operasional,” tutupnya.