BPJS Kesehatan Sibuk Naikkan Iuran, Pelayanan Masih Terseok-seok


BPJS Kesehatan kembali melakukan perubahan besar pada sistem iuran. Sistem kelas rawat inap 1-3 akan dihapus dan digantikan dengan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Sudah beberapa kali BPJS mengubah iuran namun masih sering terdengar pelayanan yang kurang maksimal.

Perubahan skema iuran BPJS Kesehatan terbaru ini akan mulai berlaku Juli 2025. Dengan perubahan ini, skema iuran BPJS Kesehatan akan menjadi satu tarif yang berlaku untuk semua peserta. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan penerapan tarif baru ini dilakukan secara bertahap.

“Iuran ke depannya akan menjadi satu, tetapi prosesnya akan bertahap,” kata Budi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (09/10/2024). Perubahan ini tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 mengenai Jaminan Kesehatan.

Selama masa transisi hingga Juli 2025, peserta BPJS Kesehatan masih membayar iuran sesuai ketentuan yang berlaku saat ini. Hal ini diatur dalam Pasal 103B Ayat (8) Perpres 59/2024, yang juga mengatur manfaat dan tarif pelayanan kesehatan hingga masa transisi selesai.

Keluhan Masyarakat 

Meskipun perubahan baru berlaku pertengahan tahun depan, sebuah unggahan tentang BPJS Kesehatan viral di Twitter. Pengamat penerbangan, Alvin Lie, awal bulan ini membagikan tangkapan layar saat dirinya membayar iuran BPJS Kesehatan.

Dalam unggahan tersebut, Alvin mengatakan dirinya membayar iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dua kali lebih mahal dari seharusnya. 

“Barusan bayar iuran bulanan sebagai Peserta Mandiri BPJS Kesehatan. Ternyata iuran sudah naik 100 persen jadi Rp300ribu per peserta per bulan. Bulan lalu masih Rp150ribu,” tulis Alvin.

Keluhan tersebut pun dibantah oleh pihak BPJS. Peserta BPJS Kesehatan masih membayar iuran sesuai ketentuan yang berlaku saat ini.

Sejak tahun 2014 hingga 2021, setidaknya sudah tiga kali perubahan besar pada skema iuran BPJS Kesehatan, dengan penyesuaian yang melibatkan kenaikan iuran dan pemberian subsidi dari pemerintah.

Perubahan Pertama dilakukan pada 2016 melalui Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016. Kenaikan ini dilakukan karena kebutuhan untuk menyeimbangkan pendanaan program, yang mengalami defisit. 

Namun, sebagian besar dari keputusan ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) setelah mendapat banyak protes dari masyarakat.

Perubahan kembali terjadi pada tahun 2019 melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019. Iuran peserta mandiri kelas III, II, dan I naik secara signifikan. 

Namun, untuk peserta kelas III, kenaikan ini dibagi menjadi dua tahap. Perubahan di 2020, melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020, pemerintah kembali menyesuaikan iuran. Dalam perpres ini, ada penyesuaian kenaikan iuran khususnya untuk peserta mandiri, sementara pemerintah menanggung sebagian iuran untuk peserta kelas III.

Perubahan keempat pada 2021, pemerintah tidak menaikkan iuran BPJS secara langsung, tetapi ada beberapa penyesuaian terkait subsidi pemerintah untuk peserta kelas III.

Atrean di Faskes Sangat Lama

Meski beberapa kali mengalami perubahan besaran iuran, menurut catatan Inilah.com, masih saja terdapat banyak keluhan dari kalangan masyarakat pengguna layanan jaminan kesehatan ini.

Misalnya, jika dilihat di lapangan banyak peserta BPJS Kesehatan yang mengeluhkan proses administrasi dan pelayanan kesehatan yang lambat. 

Antrean panjang di rumah sakit atau klinik sering kali menjadi masalah, terutama di fasilitas kesehatan tingkat pertama (Puskesmas dan klinik). Sering kali banyak orang yang sudah sakit, justru harus sejak subuh datang ke faskes untuk antre dan menunggu giliran dipanggil bertemu dokter mendapatkan pelayanan kesehatan. 

Jika dilihat yang terjadi media sosial masih sering terdengar keluhan proses administrasi BPJS terlalu rumit, terutama terkait dengan pengajuan klaim atau perubahan data dan tidak bisa langsung aktif digunakan. 

Selain itu, masih ada peserta mengeluhkan sulitnya mendapatkan rujukan ke rumah sakit, terutama untuk kasus-kasus tertentu yang memerlukan perawatan lebih lanjut. 

Selain itu, beberapa rumah sakit rujukan juga dilaporkan penuh sehingga membuat peserta BPJS kesulitan mendapatkan perawatan. 

Bahkan, untuk mendapatkan kamar rawat inap, tidak jarang pasien harus menunggu lebih dari 6 jam untuk mendapatkan ruang rawat inap. 

Sementara kualitas pelayanan yang berbeda masih harus menjadi perhatian. Peserta BPJS kadang merasa kualitas pelayanan yang mereka terima lebih rendah dibandingkan dengan pasien non-BPJS. Hal ini terkait dengan keluhan tentang prioritas pelayanan yang berbeda antara pasien BPJS dan pasien umum.

Selain itu, peserta juga mengeluhkan keterbatasan fasilitas dan obat yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Terkadang obat yang mereka butuhkan tidak tersedia, harus membeli dengan biaya yang cukup mahal, atau mereka harus menunggu lebih lama untuk mendapat perawatan tertentu.

Hal lain yang juga sering terdengar adalah keluhan tentang kurangnya komunikasi yang efektif antara BPJS Kesehatan, rumah sakit, dan peserta. 

Peserta sering kali bingung dengan aturan atau hak yang mereka miliki, terutama terkait dengan rujukan dan cakupan layanan.

Banyak keluhan yang datang dari peserta kemungkin karena berkaitan dengan tantangan logistik dan sumber daya manusia yang menangani peserta BPJS Kesehatan yang begitu besar jumlahnya di Indonesia. 

BPJS Kesehatan harus mendahulukan meningkatkan pelayanan, ketimbang masih sibuk mengotak-atik besaran iuran dari pesertanya.