News

BPOM Harus Tegas, Larang Obat Sirop Tanpa Etilon Glikol

Ahli epidemiologi UI Pandu Riono meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tegas mengeluarkan regulasi melarang obat sirop yang mengandung etilon glikol. Pasalnya, kasus gagal ginjal akut atau acute kidney injury (AKI) yang menyasar anak belakangan ini lantaran mengonsumsi obat sirop yang mengandung etilon glikol (EG). Fakta ini turut didukung penelitian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang menyimpulkan lima jenis obat sirop yang beredar di pasaran mengandung EG dan DEG.

“Semua obat yang disebutkan kan cuma lima jenis, padahal semua obat sirop potensial mengandung etilen glikol dan itu diizinkan, tapi harus dalam batas aman. Kalau saya lebih konservatif, tidak boleh ada. Tidak boleh ada istilah batas aman,” tegas Pandu kepada inilah.com, di Jakarta, pada Jumat (21/10/2022).

Menurutnya BPOM selaku pembuat regulasi harus bergerak cepat merespons situasi. Termasuk menegakkan aturan karena EG telah diyakini senyawa beracun yang tidak boleh dikonsumsi.

“Untuk keselamatan publik harus tegas. Jangan juga regulator, BPOM, menyerahkan ke industri untuk menjamin bahwa tidak ada senyawa itu, itu kan sama saja bohong. Kalau regulator tidak bisa menjamin, harus tegas, tidak boleh ada, titik. Ya sudah gitu saja,” terangnya.

Pandu juga menjelaskan bahwa AKI bukanlah suatu penyakit, melainkan keracunan karena adanya zat EG tersebut dalam obat sirup. Artinya penanganannya sudah jelas yakni, larang obat sirop yang mengandung EG.

“Ini bukan penyakit, ini keracunan. Toxic. Ginjalnya rusak karena toxic, bukan penyakit. (EG itu) toxic terhadap ginjal kita, kalau ginjal kita rusak ya kan harus ada mesin untuk cuci ginjal atau transplantasi. Kalau organ rusak kan enggak bisa dibeli, enggak ada. Kalau sparepart kita rusak, kan bukan sparepart mobil yang bisa diganti. Jadi mencegah jauh lebih baik,” jelasnya.

Tidak hanya itu, ia juga menegaskan agar BPOM dapat memeriksa sendiri kandungan dalam obat dan tidak diserahkan begitu saja kepada industri. Karena menurutnya, industri akan menggunakan bahan yang jauh lebih murah seperti EG.

“Kalau mau bahas aman artinya regulator bisa menjamin bahwa semuanya yang beredar di bawah batas aman dan tidak bisa diserahkan ke industri. Harus diperiksa sendiri, jangan industri, jangan lepas ke industri. Industri ada yang baik ada yang nakal. Mencari keuntungan sebesar-besarnya,” katanya.

Terkait batas aman penggunaan EG yang dimaksud oleh BPOM dalam beberapa obat, menurut Pandu juga tetap harus diawasi oleh BPOM sebagai regulator, agar tidak membahayakan keselamatan publik. “Misalnya batas amannya 0,5 trus dibikin aturan tidak boleh lebih dari 0,5 nah itu sudah dari regulasi, industri harus mengikuti standar itu. Artinya kan membiarkan industri yang bekerja, tapi tidak diawasi dengan ketat. Regulator, siapa regulatornya, BPOM. Jadi semua obat dan makanan harus dijaga, diawasi supaya tidak membahayakan publik, tanggung jawab keselamatan publik, lebih aman,” tegasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button