Di tengah surplus neraca perdagangan Mei 2024, sebesar US$2,39 miliar, setara Rp38,24 triliun (kurs Rp16.000/US$), pemerintah Indonesia perlu mengevaluasi hubungan dagang dengan China. Karena menimbulkan defisit yang cukup besar.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti menyebut, berdangan dengan Amerika Serikat (AS), lebih cuan ketimbang dengan China. Surplus neraca perdagangan pada Mei 2024 ini, merupakan 50 bulan berturut-turut sejak Mei 2020,
Alasannya, kinerja perdagangan Indonesia dengan AS melahirkan surplus US$1,22 miliar atau setara Rp19,5 triliun. Artinya, nilai ekspor Indonesia lebih besar Rp19,5 triliun ketimbang impor dari AS.
Tak hanya AS, kata Amalia, hubungan dagang Indonesia dengan India dan Filipina juga melahirkan surplus. “Indonesia juga mengalami surplus perdagangan barang dengan India sebesar 1,47 miliar dolar AS (Rp23,5 triliun), dan Filipina senilai 0,69 miliar dolar AS (Rp11 triliun),” kata Amalia di Jakarta, Senin (15/7/2024).
Surplus terbesar dialami Indonesia saat berdagang dengan India sekitar Rp23,5 triliun, kata Amalia, didorong sejumlah komoditas. yakni, lemak dan minyak hewani/nabati (HS 15), utamanya minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Selanjutnya, surplus disumbang dari ekspor bahan bakar mineral berkode (HS 27) dan besi baja dengan kode (HS 72).
Meski AS tak menempati posisi pertama sebagai penyumbang surplus perdagangan, kinerja dagang dengan Indonesia mengalami tren peningkatan. Baik dibandingkan dengan bulan April 2024, maupun April 2023.
Tercatat surplus neraca perdagangan barang Indonesia dengan AS pada Mei 2024 berada di angka US$1,22 miliar (Rp19,5 triliun), sementara pada Juni 2023 senilai US$1,19 miliar (Rp19 triliun).
Sementara berdagang dengan China, kata Amalia, Indonesia malah boncos alias tekor. Artinya nilai impor China ke Indonesia lebih besar ketimbang ekspor Indonesia ke China. Pada Juni 2024, defisitnya menembus US$693,4 juta (Rp11 triliun). Defisit ini lebih rendah ketimbang Mei 2024, senilai US$1,32 miliar (Rp21 triliun).
Tekornya berdagang dengan China akibat komoditas mesin dan peralatan mekanis dan bagiannya (HS 84), mesin dan perlengkapan elektrik dan bagiannya (HS 85), serta plastik dan barang dari plastik (HS 39).
Selain China, Amalia mengungkapkan Indonesia juga mencatatkan defisit neraca dagang dengan Australia senilai US$331 juta (Rp5,3 triliun), dan Thailand US$328 juta (Rp5,2 triliun).
Secara umum, neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada Juni 2024 senilai US$2,39 miliar (Rp38,2 triliun). Surplus ini utamanya ditopang oleh surplus perdagangan komoditas nonmigas senilai US$4,43 miliar (Rp70,9 triliun).
Kemudian, komoditas yang juga menyumbang surplus adalah bahan bakar mineral (HS 27), lemak dan minyak hewani nabati (HS 15), besi baja (HS 72), dan beberapa komoditas lainnya.
Secara kumulatif atau sepanjang periode Januari-Juni 2024, surplus neraca dagang barang Indonesia mencapai US$15,45 miliar (Rp247,2 triliun), atau turun US$4,46 miliar (Rp71,4 triliun) dari periode yang sama pada tahun lalu.