Kepala Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Zamroni Salim mengingatkan pemerintahan Prabowo subianto akan anjloknya jumlah kelas menengah yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurutnya, isu kelas menengah ini harus menjadi perhatian nan serius pemerintah agar tak salah langkah dalam mewujudkan Indonesia yang lebih maju dan sejahtera di masa depan.
Zamroni mengungkapkan, jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan signifikan dari 57,33 juta orang pada 2019, menjadi 48,27 juta jiwa pada 2023. Penurunan sebesar 18,8 persen, atau setara 9,06 juta jiwa ini. memberikan dampak besar bagi berbagai sektor. Khususnya menyangkut konsumsi dan produksi.
“Karena penurunan kelas menengah berarti juga terbatasnya lapangan pekerjaan dan itu juga bisa dilihat dari dampaknya pada pertumbuhan produksi,” katanya dalam agenda Outlook Perekonomian Indonesia Tahun 2025 di Jakarta, Rabu (11/12/2024).
Zamroni juga menyoroti pengelompokan kelas menengah, berdasarkan pengeluaran. Bank Dunia mengkategorikan garis kemiskinan pada pengeluaran Rp 877.629 per bulan, sementara Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan angka kemiskinan lebih rendah, yaitu kurang dari Rp600 ribu. “Tentu saja pengelompokan ini mempunyai berbagai alasan salah satunya adalah alasan ekonomis tapi juga politis,” katanya.
Ditambah lagi beban tambahan yang belakangan ini diterima kelas menengah seperti rencana kenaikan PPN dari 11-12 persen, pemungutan iuran Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), kenaikan iuran BPJS, serta penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Meskipun hal ini belum terjadi.
Kemudian, tidak berhaknya kelas menengah dalam dalam menerima bantuan langsung tunai (BLT), penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat miskin, kecuali adanya ketidaktepatan sasaran.
“Tapi di sini kelas menengah tidak bisa menerima BLT. Kelas menengah hanya bisa menerima BLT ketika salah sasaran dan ini terjadi sejak 2019 sampai 2023 ada sekitar 6,7 juta PKH dan KKS yang salah sasaran masuk ke kelas menengah. Ini tentu saja dari sisi niatan awal pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan, untuk mengatasi masalah tekanan di pendapatan rendah kurang tepat,” katanya.
Ia pun meminta kepada pemerintah untuk menyelaraskan kebijakan pengelompokan ekonomi, memberikan insentif yang mendukung daya beli kelas menengah, serta mengurangi beban fiskal seperti pajak yang tidak proporsional.
Pasalnya, perekonomian Indonesia pun selama ini didorong oleh tingkat konsumsi masyarakat yang mana kelas menengah menyumbang banyak terhadap tingkat konsumsi Indonesia.