Riza Annisa Pujarama, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai tingginya angka kemiskinan di Indonesia seperti yang dipaparkan Bank Dunia dalam laporannya, menggambarkan tingkat ketimpangan di Indonesia yang sulit turun.
Bank Dunia dalam laporannya periode April 2025 bertajuk Macro Poverty Outlook, mengungkap angka kemiskinan di Indonesia sebesar 60,3 persen. Angka itu berdasarkan standar garis kemiskinan negara pendapatan menengah-atas yang pengeluaran per kapitanya US$6.85 per hari (Rp115 ribu).
“Jadi Bank Dunia itu mengeluarkan batas garis kemiskinan berdasarkan GNI per kapita (Gross National Income). Indonesia memang sudah masuk upper-middle country, jadi batas garis kemiskinannya lebih tinggi lagi,” kata Riza kepada inilah.com, Selasa (29/4/2025).
Bank Dunia pada 2023 memasukkan Indonesia dalam kategori negara upper-middle income country setelah GNI Indonesia menembus US$4.580 per kapita.
Riza mengakui terjadi penurunan angka kemiskinan di Indonesia, terutama kelompok kemiskinan ekstrim karena digelontorkan banyak program bantuan sosial ke sana. Namun dari sisi peningkatan produktivitas, belum banyak kemajuan.
“Padahal yang ideal itu kan, mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang layak,” kata Riza.
Riza mengatakan secara rata-rata, pendapatan perkapita indonesia sudah Rp78 juta per tahun. Dengan begitu, seharusnya masyarakat indonesia sudah tidak ada yang miskin karena garis kemiskinan sekitar Rp600 ribu per kapita per bulan, tetapi yang terjadi di lapangan berbeda sehingga ini menggambarkan ketimpangan yang terjadi.
Untuk itu, Riza menyarankan Pemerintah agar melakukan perbaikan dari sisi ketimpangan, namun bukan dalam bentuk bansos tetapi yang lebih mendorong produktivitas, daya saing, dan akses terhadap peluang yg lebih baik.