Berdasarkan pada temuan Lokataru Foundation, pengerahan aparat TNI dan Polri dalam kontestasi Pilkada 2024 bukan hanya sebuah isu, melainkan sebuah fakta. Dalam pemantauan terhadap dugaan pelanggaran dalam Pilkada 2024 di sejumlah provinsi -termasuk enam provinsi di Tanah Papua, serta Banten, DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan- modus tindakan koersi (komunikasi yang menggunakan paksaan dan kekerasan) menjadi satu dari empat pola bagaimana pemilihan kepala daerah tahun ini kental akan cawe-cawe dari pihak yang punya kuasa.
Hasnu Ibrahim, Koordinator Pemantau Pilkada Lokataru, mengungkapkan temuannya terkait modus dan pola intimidasi yang dilakukan oleh aktor-aktor politik serta aparat penegak hukum (APH). Kata dia, tergambar sebuah pola intimidasi yang sistematis dan melibatkan empat pola; Menggunakan lembaga resmi untuk membatasi ruang gerak calon tertentu; Tindakan represif oleh aparat penegak hukum untuk melemahkan oposisi; Pemanfaatan dana publik untuk kepentingan politik tertentu; serta Penyalahgunaan kebijakan untuk menguntungkan calon yang didukung penguasa.
Dalam beberapa kasus, aparat diduga digunakan untuk menekan oposisi atau memperkuat posisi calon yang dianggap representasi kekuasaan. Dalam temuannya, adanya gerakan dari tingkat Polres dan Polsek dalam mengerahkan dukungan secara terang-terangan ke calon tertentu, utamanya apabila calon yang diusung merupakan bagian dari institusi polisi juga. “Ini menunjukkan betapa besar pengaruh institusi pada level lokal terhadap arah politik daerah,” ujar Hasnu.
Temuan terakhir Lokataru mencatat ada tujuh kategori pelanggaran serius dalam pelaksanaan Pilkada. Pelanggaran ini bukan lagi sekadar isu, melainkan fakta yang telah terkonfirmasi melalui pemantauan di lapangan dan media sosial. “Misalnya, ada skenario untuk melemahkan calon oposisi melalui tindakan koersif, bahkan penangkapan. Ini terjadi di berbagai wilayah, termasuk Papua dan Banten. Di beberapa daerah, terlihat pola dari upaya sistematis untuk menggagalkan lawan politik yang tidak didukung oleh penguasa,” katanya.
Praktik intimidasi semacam ini, menurut Hasnu, tidak hanya mengancam integritas Pilkada, tetapi juga menggerus kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Ia menilai, fenomena ini menunjukkan bagaimana kekuasaan pusat sering kali berusaha mengatur kaki-kakinya di daerah melalui skenario politik yang terencana. “Ini soal kuasa yang diatur dari pusat ke daerah. Ketika lawan politik dianggap tidak sejalan, maka segala cara digunakan untuk menghentikan mereka,” ujar Hasnu.
Baca ulasan lengkapnya di Insider edisi 15 Desember 2024 Ulah Parcok Bikin Recok