Tahun demi tahun, utang pemerintahan Jokowi terus menggunung. Konsekuensinya, pemerintah harus anggarkan cicilan dan bunga utang yang cukup tinggi.
Dalam podcast Integritas yang dipandu mantan KPK, Novel Baswedan, dikutip Sabtu (27/1/2024), ekonom senior Faisal Basri menyebut bunga utang rezim Jokowi, cukup tinggi.
Semakin tinggi risiko (gagal bayar) suatu negara, kata dia, maka kreditor akan menetapkan bunga utang yang tinggi. “Bunga utang Indonesia itu cukup tinggi. Yakni 20 persen-an. Beda dengan Singapiura, hanya 0,3 persen. Padahal, utang Singapura 2,5 kali Indonesia,” kata Faisal.
Kenapa tinggi? Diterangkan Faisal, banyak faktor. Yang jelas, faktor risiko (gagal bayar) di Indonesia, cukup rtinggi. Alhasil, para lembaga atau negara pemberi utang alias kreditur, mematok bunga tinggi. Beda dengan negara dengan risiko rendah.
Menurut perhitungannya, terjadi lonjakan pembayaran bunga utang per tahun. Pada 2014, misalnya, pemerintah mengalokasikan anggaran bayar bunga utang sebesar Rp133,4 triliun, Sepuluh tahun kemudian menjadi Rp441,4 triliun.
Di pasar Surat Utang Negara (SUN), misalnya, kata Faisal, invstor asing banyak yang melepas atau menjual surat berharga negara atau surat utang Indonesia. karena, bunganya tidak menarik sehingga mereka lepas saja. Dan memindahkan dana mereka ke negara lain.
“Lima tahun lalu, kepemilikan asing di SBN atau surat utang kita, mencapai 30 persen. Sudah pada dijual, sekarang sisa hanya 14 persen sampai 15 persen saja,” ungkapnya.
Saat ini, lanjut Faisal, kalangan perbankan pelat merah yang memborong surat utang. karena risikonya nol, menawarkan cuan yang menggiurkan.
“Karena investor asing kabur, diperintahkanlah bank pelat merah dan BI untuk beli SUN. Mereka senang sekali itu. Akhirnya apa? Bank-bank lebih senang beli SUN ketimbang salurkan kredit. Makanya pertumbuhan macet di 5 persenan,” terangnya.
Suka atau tidak, lanjut keponakan mendiang Wakil Presiden Adam Malik itu, rating Indonesia memang rendah. Apalagi saat ini, kreditur global memperhitungkan faktor ESG (environment, social and governance).
Artinya, kata dia, kreditur akan melihat bagaimana pemerintahan Indonesia dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial, kepedulian terhadap lingkungan serta penerapan prinsip GCG (good and clean governance) di pemerintahan.
Untuk ASEAN, skor ESG kita adalah tinggi, belum level sangat tinggi. Tapi, negara-negara di ASEAN, skornya lebih bagus ketimbang Indonesia,” ungkapnya.
Dengan beban bunga utang yang cukup besar saban tahun, kata Faisal, jelas berdampak kepada anggaran. Apalagi, penerimaan negara dari pajak, cenderung landai. Sementara belanjanya besar sekali, apalagi menjelang Pemilu 2024.
“Akibatnya apa, bunga utang itu yang besar itu dibayar dengan utang lagi. jadi, kita enggak bebas-bebas dari jeratan utang. Itu yang terjadi di era Jokowi,” tandasnya.
Leave a Reply
Lihat Komentar