Cadangan Air Tawar Bumi Menipis, Hujan dan Salju Gagal Isi Ulang

Sabtu, 16 November 2024 – 13:03 WIB

Ilustrasi cadangan air tawar (Foto: Jurgute/Getty Images/iStockphoto)

Ilustrasi cadangan air tawar (Foto: Jurgute/Getty Images/iStockphoto)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Sebuah tim ilmuwan internasional melakukan pengamatan dari satelit NASA-Jerman terkait cadangan air tawar di Bumi. Hasil pengamatan yang diterbitkan Surveys in Geophysics ini mengemukakan, daratan di Bumi telah memasuki fase kekeringan yang ekstrem.

Matthew Rodell, salah satu penulis studi dan ahli hidrologi di NASA Goddard Space Flight Center di Greenbelt, Maryland mengatakan, dari tahun 2015 hingga 2023, pengukuran satelit menunjukkan bahwa rata-rata jumlah air tawar yang tersimpan di daratan, termasuk air permukaan seperti danau dan sungai, serta air dalam akuifer bawah tanah, adalah 290 mil kubik (1.200 kilometer kubik). Angka itu lebih rendah dibandingkan tingkat rata-rata dari 2002 hingga 2014.

Rodell mengatakan, penurunan air tawar global dimulai dengan kekeringan besar di Brasil bagian utara dan tengah diikuti serangkaian kekeringan di Australia, Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa dan Afrika.

Advertisement

Advertisement

Peristiwa El Nino di kurun 2014-2016 menyebabkan pergeseran arus jet atmosofer mengubah pola cuaca dan curah hujan di seluruh belaha Bumi. Rodell dan tim melaporkan bahwa 13 dari 30 kekeringan paling intens yang diamati oleh GRACE terjadi sejak Januari 2015. Rodell dan kolega mencurigai bahwa pemanasan global mungkin berkontribusi pada penurunan air tawar yang terus berlangsung.

“Perluasan lahan pertanian dan irigasi yang semakin masif menambah tingkat kebutuhan air tawar. Situasi kekeringan ini, diperparah dengan gagalnya hujan dan salju dalam mengisi ulang air tawar sehingga pasokannya semakin menipis,” ucapnya.

Michael Bosilovich, seorang ahli meteorologi di NASA Goddard mengatakan, pemanasan global membuat afmosfer bumi menahan lebih banyak uap air. Meskipun total curah hujan dan salju tahunan mungkin tidak berubah secara dramatis, periode panjang antara peristiwa curah hujan ekstrem memungkinkan tanah mengering dan menjadi lebih padat. Hal ini mengurangi jumlah air yang dapat diserap tanah saat hujan.

Masalahnya curah hujan ekstrem mengalir begitu saja, tak terserap dan mengisi kembali cadangan air tanah. Secara global, tingkat air tawar tetap rendah sejak El Nino 2014-2016, sementara lebih banyak air tetap terperangkap di atmosfer sebagai uap air.

“Suhu yang lebih hangat meningkatkan penguapan air dari permukaan ke atmosfer, serta kapasitas atmosfer untuk menahan air, yang meningkatkan frekuensi dan intensitas kondisi kekeringan,” ujar dia.

Data lainnya dalam laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang stres air yang diterbitkan tahun ini menyebut, kurangnya pasokan air akan memberikan tekanan pada petani dan masyarakat. Ujungnya bisa menimbulkan kelaparan, konflik, kemiskinan, dan peningkatan risiko penyakit ketika orang beralih ke sumber air yang terkontaminasi.

Topik

BERITA TERKAIT