Israel memiliki sejarah panjang membunuh para pemimpin Hamas sebelum tewasnya Saleh al-Arouri di Beirut pada 2 Januari 2024. Cara Israel menghilangkan nyawa bos Hamas itu sangat keji mulai menggunakan pesawat tanpa awak, memberi racun hingga menempatkan alat peledak di ponselnya.
Saleh al-Arouri, wakil ketua biro politik Hamas dan anggota pendiri sayap militernya, Brigade Izz ad-Din al-Qassam, dibunuh dalam serangan pesawat tak berawak di pinggiran kota Beirut. Israel belum mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut, namun pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sebelumnya berjanji akan membunuh para pemimpin Hamas di seluruh dunia menyusul serangan mendadak Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober.
Israel memiliki sejarah panjang pembunuhan yang ditargetkan terhadap para pemimpin Palestina. Mengutip The New Arab, para pemimpin Hamas menjadi korban kekerasan Israel dengan berbagai cara.
![post-cover](https://i3.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/01/Screenshot_2024_01_05_160215_5a35c78be9.png)
Emad Akel
Akel lahir di kamp pengungsi Jabalia di Gaza. Setelah menyaksikan penangkapan dan bahkan pembunuhan kerabatnya oleh Israel, Akel bergabung dengan Hamas di usia remajanya. Ia mendapat julukan ‘hantu’ karena kemampuannya menggunakan penyamaran untuk melancarkan penyergapan terhadap pasukan Israel.
Militan muda tersebut diangkat menjadi komandan Brigade Qassam, di mana ia menjabat sebagai mentor bagi komandan saat ini, Mohamed Deif. Dia juga ditempatkan di urutan teratas Daftar Orang Paling Dicari di Israel. Saat berusia 22 tahun, ia ditemukan oleh intelijen Israel melalui informan dan ditembak mati oleh pasukan khusus di luar rumahnya di Shuja’iyya pada tahun 1993.
Yahya Ayyash
Dijuluki ‘Sang Insinyur’, Ayyash adalah kepala pembuat bom dan komandan batalion Brigade Al-Qassam di Tepi Barat. Lulusan teknik elektro dari Universitas Birzeit, Ayyash bertanggung jawab merintis bahan peledak yang digunakan dalam bom bunuh diri terhadap pasukan Israel.
Dia dibunuh pada usia 29 tahun dalam plot yang rumit oleh dinas keamanan internal Israel, Shin Bet. Mereka menempatkan alat peledak di teleponnya dan meledakkannya dari jarak jauh saat Ayyash menerima telepon dari ayahnya.
Khaled Meshaal
Meshaal, mantan guru fisika, adalah anggota pendiri Politbiro Hamas dan menjadi ketua kedua pada tahun 1996. Pada tahun 1997, atas perintah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Mossad ditugaskan untuk membunuh Meshaal. Suatu hari ketika dia memasuki kantornya, dia didekati oleh agen Mossad dari belakang. Agen tersebut memasang perangkat tak dikenal di telinga kirinya dan mengirimkan racun yang bekerja cepat.
Agen itu ditangkap oleh keamanan Meshaal dan dia selamat dari percobaan pembunuhan. Dia menggambarkan pengalamannya sebagai ledakan keras di telinga kirinya yang diikuti dengan sensasi sengatan listrik. Namun, beberapa jam kemudian, pemimpin Hamas itu harus mendapat alat bantu hidup dan dalam keadaan koma.
Raja Hussein dari Yordania sempat mengancam akan membatalkan perjanjian perdamaian negaranya dengan Israel jika Netanyahu tidak memberikan penawar racun untuk Meshaal. Netanyahu menolak namun kemudian Presiden AS Bill Clinton secara pribadi meminta PM Israel menyerahkan penawarnya, serta menjamin pembebasan agen Mossad yang ditangkap. Netanyahu akhirnya mengalah dan agen Mossad mengirimkan penawarnya ke rumah sakit di Yordania tempat Meshaal terbaring sekarat. Dia berhasil diselamatkan dan terus menjalani hidup sehat di Doha.
Salah Shehadeh
Lahir di kamp pengungsi Shati di Gaza pada 1953, Shehadeh adalah pemimpin Brigade Qassam selama Intifada Kedua. Selain mendalangi serangan terhadap pasukan Israel, Shehadeh bertanggung jawab mengawasi pembuatan roket Qassam dan penyelundupan gudang senjata Hamas yang besar.
Setelah menggunakan intelijen untuk menemukannya, Angkatan Udara Israel menjatuhkan bom seberat satu ton di rumahnya di lingkungan al-Daraj di Kota Gaza. Shehadeh, 49 tahun, tewas bersama seluruh keluarganya, termasuk 7 anak tetangganya ikut tewas dalam serangan tersebut.
Ahmed Yasin
Sheikh Ahmed Yassin adalah pendiri gerakan Hamas dan bisa dibilang tokoh paling berpengaruh dalam sejarahnya. Yassin lahir pada tahun 1936 dan, pada usia 10 tahun, seluruh desanya di luar Ashkelon dibersihkan secara etnis oleh tentara Israel selama Nakba.
Keluarganya pindah ke Gaza sebagai pengungsi. Saat mengalami kelumpuhan, Yassin dibunuh oleh rudal Hellfire yang ditembakkan oleh Helikopter Apache Israel ketika dibawa keluar dari salat subuh di Kota Gaza pada tahun 2004, dalam usia 67 tahun.
Abdel Aziz al-Rantisi
Rantisi baru berusia satu tahun ketika keluarganya dipaksa keluar dari rumah mereka di kota Yibna, Palestina yang telah dibersihkan secara etnis pada tahun 1948. Setelah melarikan diri ke Gaza, ia berusia 9 tahun ketika pamannya dibunuh tepat di depan matanya saat pasukan Israel menyerang ratusan warga Palestina dalam operasi pembantaian Khan Younis tahun 1956.
Setelah menjadi dokter medis di Universitas Alexandria, Rantisi kembali ke tanah airnya untuk melawan pendudukan Israel dan akhirnya berperan penting, bersama dengan Sheikh Yassin, dalam penciptaan gerakan Hamas. Setelah beberapa kali penangkapan, upaya pembunuhan dan deportasi ke Lebanon, Al-Rantisi diangkat sebagai pemimpin baru Hamas setelah pembunuhan Yassin pada 22 Maret 2004.
Kurang dari satu bulan kemudian, pada 17 April 2004, Rantisi dilacak selama berminggu-minggu oleh intelijen Angkatan Udara Israel dan kemudian dibunuh oleh rudal Hellfire yang ditembakkan ke mobilnya oleh helikopter Apache Israel di Kota Gaza. Ketika itu ia berusia 56 tahun.
Adnan Al-Ghoul
Dikenal sebagai ‘Bapak Qassam’ karena karyanya dalam membangun sistem pengiriman roket Hamas yang ekstensif, bekerja sebagai asisten Yahya Ayyash. Al-Ghoul juga merupakan pionir penggunaan alat peledak improvisasi (IED) melawan pasukan Israel di Gaza. Dia dibunuh pada tahun 2004, dalam usia 41-42 tahun, ketika sebuah pesawat Israel melacaknya dan kemudian menargetkan mobilnya dengan dua rudal.
Mahmoud al-Mabhouh
Mabhouh adalah Kepala Staf Logistik Hamas dan secara luas dipandang sebagai orang yang bertanggung jawab atas pengadaan sebagian besar persenjataan dan peralatan kelompok tersebut. Pada tahun 2010, Mabhouh dibunuh di kamar hotelnya di Dubai setelah dilacak dengan cermat oleh 11 agen Mossad menggunakan paspor asing.
Kematiannya awalnya membingungkan polisi, karena pintunya dikunci dari dalam. Belakangan, diketahui bahwa dia telah diberi pelemas otot yang kuat oleh para pembunuh, disetrum dan kemudian dicekik dengan bantal.
Pembunuhan tersebut menyebabkan insiden diplomatik besar karena penggunaan paspor Inggris dan Eropa oleh agen Mossad Israel. Akibatnya, beberapa negara Eropa meluncurkan penyelidikan terhadap aktivitas Mossad bahkan terjadi penangkapan salah satu tersangka di Polandia atas perintah Jerman.
Leave a Reply
Lihat Komentar