Cawe-cawe Bapanas Atur HET Beras, untuk Siapa?

cawe-cawe-bapanas-atur-het-beras,-untuk-siapa?
Cawe-cawe Bapanas Atur HET Beras, untuk Siapa?


Keputusan Bapanas menaikkan HET beras, tidak membuat petani makin sejahtera. Atau konsumen semringah karena beras justru semakin mahal.

Handayani (38), ibu rumah tangga di daerah Tanah Baru, Kota Depok, Jawa Barat merasa kaget dengan naiknya harga beras premium yang biasa dibelinya di ritel modern dekat rumahnya.

Untung saja, penghasilan suami yang menjadi karyawan swasta masih cukup untuk biaya hidup sebulan. Tapi, tak ada sisa untuk ditabung.

Tak ada dana lebih untuk sekedar piknik atau wisata, melepas penat di kepala. Intinya, benar-benar tak ada sisa.

Bahkan, sejak beberapa bulan ini, Handayani terpaksa ‘ngutang; untuk belanja sayuran. “Lha harga-harga pada mahal, ya terpaksa ngutang dulu. Untung yang jual sayur masih tetangga dekat,” papar ibu dua anak itu.

Agar gaji suami di kisaran Rp5 juta bisa mencukupi untuk belanja sebulan, Handayani terpaksa menerapkan anggaran ketat.

Dulu, kebiasaan belanja beras premium, harus turun kelas ke medium. Suka disebut beras Stabilisasi Persediaan dan Harga Pangan (SPHP) atau beras Bulog, yang belakangan HET (Harga Eceran Tertinggi)-nya ikut dinaikkan.

Kalau tak ada duit ya terpaksa beli beras kualitas rendahan, yang lebih murah.

Artinya, terjadi penurunan kualitas hidup dari kelompok masyarakat yang koceknya pas-pasan. Semuanya dampak dari kenaikan harga barang.

Kisah Handayani ini, mewakili jutaan warga kelas menengah di Indonesia yang kehidupannya mulai megap-megap diterpa kenaikan harga barang.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menyebut, kelas menengah di Indonesia menjadi kelompok yang paling menderita. Dompetnya tercabik-cabik mahalnya harga barang, khususnya pangan.

Bulan ini, kata Bhima, daya beli kelompok menengah diprediksikan melemah. Lantaran, ada kebutuhan sekolah anak yang tidak bisa ditunda. Mau tak mau, kelompok menengah harus menunda konsumsi atau belanja.

“Ini jelas berdampak kepada turunnya penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, sampai kosmetik atau skincare,” kata dia.

Jika kondisi ini tidak berubah, kata Bhima, menekan pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut proyeksinya tahun ini, perekonomian Indonesia sulit bertumbuh di atas 5 persen.

“Karena, 35 persen konsumsi rumah tangga nasional bergantung dari kelompok menengah. Kalau menengah terganggu ya ekonominya terganggu,” ungkap Bhima.

Siapa Untung?

Kenaikan harga beras semakin menjadi-jadi manakala Badan Pangan Nasional (Bapanas) menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras premium sebesar Rp1.000 per kilogram (kg).

Untuk Pulau Jawa, Lampung, dan Sumatra Selatan, HET beras premium naik dari Rp13.900 menjadi Rp14.900/kg. Keputusan ini berlaku sejak 10 Maret hingga 23 Maret 2024.

Sedangkan Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Kepulauan Bangka Belitung, HET beras premium naik dari Rp14.400 menjadi Rp15.400/kg.

Lalu, HET beras premium di Bali, Nusa Tenggara, dan Kalimantan, naik dari Rp14.400 menjadi Rp15.400/kg. Sementara Maluku dan Papua, naik dari Rp14.800 menjadi Rp15.800/kg.

Alasannya, menurut Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, agar beras premium kembali membanjiri pasar ritel modern. Sebelumnya sempat langka.

“Perlu relaksasi HET beras premium untuk menjaga ketersediaan, pasokan, dan harga beras premium di pasar tradisional maupun ritel modern,” kata Arief.

Setelah membanjiri ritel modern, Bapanas terus memperpanjang HET beras premium hingga 31 Mei 2024. Selanjutnya, Bapanas juga mengerek naik HET beras medium dari Rp10.900 menjadi Rp12.500/kg.

Sejak itu, tak adalagi beras medium yang harganya di bawah Rp11.000/kg. Hampir semuanya di atas Rp12.000/kg.

Ironisnya, kenaikan HET beras premium maupun medium, yang ditetapkan Bapanas ini, terkesan kuat hanya untuk memuluskan ritel modern.

Di sisi lain, keputusan Bapanas ini tidak meningkatkan pendapatan petani. Kehidupan mereka masih susah dan merugi.

Sedangkan konsumen jelas keberatan dengan kenaikan HET ini, karena memicu harga beras.

“Jadi siapa yang diuntungkan dengan kenaikan HET? Di satu sisi merugikan konsumen, di sisi lain tidak menguntungkan petani,” kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, Senin (6/5/2024).

Tulus benar. Pernyataan Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi bahwa kenaikan HET beras demi kesejahteraan petani, tak lebih dari ‘omon’omon’ alias klaim semata. Tak perlu bukti.

Untuk mengukur kesejahteraan petani di Indonesia, caranya cukup mudah. Amati saja pergerakan Nilai Tukar Petani (NTP) yang biasanya diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) tiap bulan.

Faktanya, angka NTP April 2024 justru turun 2,18 persen ketimbang Maret 2024. Dari 119,39 menjadi 116,79. Penurunan NTP ini didorong penurunan indeks harga terima petani yang dipengaruhi harga gabah.

“Komoditas yang dominan mempengaruhi penurunan It (indeks harga terima petani) nasional adalah gabah, jagung, cabai rawit, dan cabai merah,” ujar Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti di Jakarta, Kamis (2/5/2024).

Demikian pula NTP Maret 2024 turun dibandingkat bulan sebelumnya. Di mana, NTP Februari 2024 sebesar 120,97 turun menjadi 119,39 (NTP Maret 2024). Atau turun 1,31 persen.

Padahal Februari-Maret 2024, Bapanas kerek HET beras premium yang diyakini bakal mengerek pula penghasilan petani.  Nyatanya nol besar.      

Lalu siapa diuntungkan dari ‘cawe-cawe’ Bapanas mengatur HET beras?  Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih menyebut korporasi bermodal besar yang sanggup membeli gabah petani. Serta yang memiliki rice milling unit berkapastitas besar.

“Mereka juga menguasai distribusi pemasaran hingga tingkat ritel modern,” kata Henry.

Hanya saja Henry tak mau sebut ‘merek’ korporasi besar yang diuntungkan dari aturan HET beras. “Silahkan wawancara Bapanas, siapa-siapa saja perusahaan besar dalam urusan perberasan ini. Mereka tahu itu,” kata Henry.

Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Daniel Johan punya pandangan sama. Bahwa bohong besar jika disebut kenaikan HET untuk menaikkan kesejahteraan petani.

“Kenaikan HET ini justru menguntungkan pihak tertentu saja. Seharusnya, beras medium (SPHP) tidak dinaikkan HET-nya. Karena Bulog adalah lembaga yang seharusnya melakukan intervensi harga, agar harga beras stabil,” kata Daniel.

Di sisi lain, kata Daniel, Perum Bulog berkewajiban untuk memborong gabah dari petani. Sebelum HET naik, harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen atau GKP dipatok hanya Rp5.000/kg.

Setelah HET naik, HPP GKP ikut naik menjadi Rp6.000/kg.  “Karena tugas Bulog harus menyerap gabah sebanyak-banyaknya, ketika petani sedang panen raya,” kata anak buah Cak Imin, sapaan akrab Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. (Ipe/Diana Rizki).