Cek Kesehatan Gratis? Maaf, Perut Lebih Butuh Diisi!


Pagi di Jalan Raya Bogor, Jakarta Timur, tak pernah sepi. Deru kendaraan bersahut-sahutan, klakson memecah udara, dan kemacetan menjadi pemandangan yang lumrah. Di tengah riuhnya jalanan yang tak pernah tidur, Kodir (30) berdiri di depan gerobaknya, sibuk menyusun buah-buahan agar terlihat menarik bagi pembeli.

Hari-hari pria asal Bangkalan, Madura itu selalu dimulai sejak subuh. Ia pergi ke pasar induk untuk belanja stok dagangan, mendorong gerobak ke pinggir jalan, lalu berdiri seharian menunggu pelanggan. Semua dilakukan demi satu tujuan: menghidupi istri dan ketiga anaknya.

“Nyari kerjaan susah. Mending saya jualan buah begini. Alhamdulillah, sejak 15 tahun lalu, usaha ini bisa mencukupi kebutuhan keluarga,” katanya kepada inilah.com.

Setiap hari, Kodir bersaing dengan puluhan pedagang lain yang berjajar di sepanjang Jalan Raya Bogor. Namun, ia punya satu prinsip: bangun lebih pagi berarti lebih cepat mendapat rezeki. 

“Bangun pagi, rezeki enggak dipatok ayam,” ujarnya.

Kompor Tetap Menyala, Kesehatan Nomor Dua

Bagi Kodir, hidup adalah tentang memastikan dapur tetap berasap. Selama masih bisa berdiri dan bekerja, kesehatan bukan prioritas. Baginya, sehat itu sederhana—bisa bekerja dan membawa pulang uang.

“Orang saya enggak punya ijazah, mau kerja apa? Yang penting saya bisa cari nafkah, anak-anak bisa makan dan sekolah, enggak seperti saya yang SD saja enggak lulus,” ujarnya.

Namun, sikap ini bertolak belakang dengan program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang baru saja digulirkan pemerintah sejak awal pekan lalu. Program yang bertujuan meningkatkan kesadaran kesehatan masyarakat ini ternyata tidak banyak menarik perhatian mereka yang justru paling membutuhkan.

“Saya jujur enggak tahu ada layanan itu. Sama sekali enggak tahu. Di media sosial juga informasinya enggak jelas,” kata Kodir.

Saat ditanya apakah tertarik mencoba layanan tersebut, Kodir hanya menggeleng. Bukan karena ia menyepelekan kesehatan, tetapi bagi mereka yang hidupnya bergantung pada penghasilan harian, memeriksakan diri terasa seperti kemewahan.

“Lebih baik jualan dan bawa uang pulang daripada antre buat periksa. Lagian saya masih sehat-sehat saja,” ujarnya.

Warga Butuh, Tapi Tak Tersentuh

Kodir bukan satu-satunya warga yang tidak mengetahui program CKG. Waroh (55), seorang pedagang sayur di Pasar Ceger, Tangerang Selatan, juga mengaku belum pernah mendengar layanan ini. Padahal, berbeda dengan Kodir, ia merasa butuh pemeriksaan kesehatan.

“Saya enggak tahu ada CKG, belum sampai ke telinga saya. Soalnya saya jarang pegang HP, satu HP dipakai bareng anak,” katanya.

Setiap hari, Waroh tak lepas dari inhaler asma yang selalu terselip di kantong bajunya. Di sudut gerainya, ia menyediakan kotak P3K berisi obat-obatan sebagai antisipasi jika napasnya tiba-tiba sesak saat berjualan.

Menurutnya, program ini seharusnya lebih aktif menjangkau masyarakat, bukan sekadar diumumkan di media sosial. 

“Kalau ada petugas puskesmas yang datang ke pasar atau rumah-rumah, pasti lebih banyak yang tahu dan memanfaatkannya,” ujarnya.

Jemput Bola, Solusi Agar Program Tak Sia-sia

Keinginan Waroh sejalan dengan kritik dari Pengamat Kesehatan dan Anggota BPJS Watch, Timboel Siregar. Sehari setelah program CKG diluncurkan, ia menilai fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas harus menerapkan strategi jemput bola agar layanan ini benar-benar menjangkau masyarakat yang membutuhkan.

Menurut Timboel, masih banyak warga yang enggan menjalani pemeriksaan kesehatan secara mandiri. Beberapa bahkan takut melakukan medical check-up (MCU) karena khawatir mendapat diagnosis penyakit tertentu.

“Model skrining yang efektif adalah yang proaktif, yaitu dengan mendatangi pasien langsung atau menerapkan sistem jemput bola,” kata Timboel.

Selain pemeriksaan kesehatan dasar seperti mata, telinga, dan gigi, pendekatan ini juga memungkinkan petugas kesehatan mengidentifikasi faktor risiko di lingkungan tempat tinggal warga.

“Ventilasi rumah yang buruk bisa meningkatkan risiko gangguan paru-paru. Polusi udara dan kebersihan lingkungan juga berpengaruh besar terhadap kesehatan,” ujarnya.

Timboel menegaskan, menunggu kesadaran masyarakat untuk datang sendiri ke puskesmas bukan solusi. 

“Kadang, warga juga enggan jujur soal kebiasaan mereka, seperti konsumsi gula atau rokok. Tapi kalau tenaga kesehatan datang langsung dan bertanya ke keluarga, informasi yang diperoleh bisa lebih akurat,” katanya.

Dengan strategi jemput bola, program CKG diharapkan tak hanya sekadar ada, tapi benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.