Direktur Kebijakan Publik dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar menilai, realokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) mendesak dilakukan.
Wahyudi melalui pesan singkat, di Jakarta, Kamis (11/7/2024), menanggapi pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves), Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan bahwa pemerintah membatasi pembelian BBM bersubsidi mulai 17 Agustus 2024.
Luhut mengatakan, masih banyak orang yang tak berhak menerima subsidi, tetapi menikmatinya. Alhasil, harus ada pembatasan agar subsidi ini tak kian membebani keuangan negara. Apalagi defisit APBN 2024 diproyeksikan akan lebih besar dari target yang telah ditetapkan.
Wahyudi sependapat dengan Luhut. Pada 2024, pemerintah membatasi subsidi energi sebesar Rp189 triliun. Padahal, anggaran sebesar bisa digunakan untuk memperbaiki infrastruktur yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Misalnya, pembangunan transportasi publik dan subsidi pendidikan dan kesehatan, harus dialokasikan untuk menutupi defisit anggaran yang diakibatkan oleh subsidi BBM ini.
“Namun, memang proses realokasi anggaran ini harus dikelola dengan baik, jangan sampai justru membebani masyarakat kelas bawah dan terjadi gejolak ekonomi dan peningkatan angka inflasi secara drastis,” ujar Wahyudi.
Menurutnya, pemerintah perlu menerapkan beberapa langkah dalam melakukan realokasi subsidi BBM. Pertama, kebijakan tersebut harus dilakukan secara bertahap. Kedua, untuk meminimalisir dampaknya, dana subsidi BBM harus dialokasikan untuk bantuan atau perlindungan sosial.
Di samping itu, perlu ada program untuk melindungi kelas menengah secara ekonomi, yang bisa berupa subsidi kesehatan, pendidikan, perumahan hingga diskon dan dukungan untuk transportasi publik.
“Jadi ruang fiskal dari subsidi BBM digunakan untuk mendorong ekonomi produktif dan jaring pengaman sosial,” katanya lagi.
“Yang pada akhirnya juga bisa menjaga daya beli, penerimaan pajak dan struktur ekonomi makro secara umum,” ujar dia.
Dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR, Jakarta, Senin (8/7/2024), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani melaporkan, APBN telah mengalami defisit Rp77,3 triliun. Atau setara 0,34 persen dari produk domestik bruto (PDB) di semester I-2024.