China Untung Besar, Rakyat Menderita

Anggota Dewan Pakar Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN), Achmad Nur Hidayat mengingatkan, jangan terlalu bangga dengan nikel. Tata kelolanya harus sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Apalagi, kekayaan alam bisa habis dalam sekejab.

“Saya kira itu (nikel) menjadi harapan kosong. Sebab, dalam waktu dekat, cadangan nikel terancam tak tersisa. Seiring penambangan nikel yang dilakukan besar-besaran. Dan, hanya menguntungkan China,” kata Matnur, sapaan akrabnya, Jakarta, Rabu (17/1/2024).

Terkait semakin susutnya nikel di perut bumi Indonesia, kata dia, tidak main-main. Saat ini, diestimasikan, cadangan nikel yang tersisa sekitar 5,2 miliar ton. Baik dari jenis saprolit maupun limonit. “Diperkirakan hanya cukup untuk 6-11 tahun lagi,” tandasnya.

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tergerusnya nikel dalam waktu cepat, dipantik ekspansi besar-besaran fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).

Saat ini, sedikitnya 44 unit smelter untuk pirometalurgi saprolit dan 3 smelter untuk hidrometalurgi limonit. Dengan konsumsi tahunan sebanyak 210 juta ton saprolit, dan 23,5 juta ton limonit, perluasan fasilitas pemurnian melalui pembangunan smelter baru menjadi kebutuhan mendesak.

Meskipun ada potensi tambahan sekitar 17 miliar ton nikel di luar green area yang belum dieksplorasi, kata Matnur, perlu dipertimbangkan strategi berkelanjutan. Untuk menghindari risiko menjadi pengimpor bijih nikel dalam beberapa tahun ke depan. “Terutama bagaimana mengatasi dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan,” paparnya.

Artinya, lanjut Matnur, ada kebutuhan yang mendesak untuk diversifikasi ekonomi dan meningkatkan produktivitas sumber daya alam (SDA) di sektor lain. Oleh karena itu, perlu fokus pada optimasi pemanfaatan SDA di sektor Agromaritim sebagai alternatif yang berpotensi kuat untuk mengimbangi dampak berkurangnya ketersediaan cadangan nikel.

Dengan strategi ini, kata dia, Indonesia dapat membangun keberlanjutan ekonomi yang lebih kuat dan tidak tergantung pada satu sektor sumber daya alam saja.

Langkah yang harus ditempuh adalah penyelarasan UU untuk mencapai akselerasi dalam penyerapan investasi dan proses industrialisasi. “Perlu segera diciptakan kepastian hukum dan keselarasan Undang-undang yang mendukung. Langkah-langkah ini penting untuk menarik investor, menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif, dan meningkatkan daya tarik bagi industri,” pungkasnya.

Sebelumnya, mantan Menteri Perdagangan di periode pertama Jokowi, Thomas Lembong yang kini menjabat Co-Captain Timnas AMIN, memprediksikan, masa depan nikel bakal suram. Indikatornya, harga dunia terjun bebas hingga 30 persen dalam 12 bulan terakhir.

Pada 2025, dia memprediksikan, nikel akan mengalami over supply atau kelebihan pasokan di pasar global.

Di tengah penurunan harga, pada 2025 diperkirakan terjadi kelebihan pasokan. “Dengan begitu gencarnya bangun smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian) di Indonesia, kita membanjiri dunia dengan nikel,” kata Tom Lembong, dikutip dari video di kanal YouTube.

Mengutip media komoditas asal Inggris, Fast Markets, nikel menjadi logam dasar berkinerja terburuk pada 2023. Harga acuannya di Bursa Metal London anjlok hingga 45 persen. Di tengah banyak negara maju berlomba menciptakan kendaraan listrik, harga nikel seharusnya naik. Karena, nikel adalah bahan baku utama baterai  untuk kendaraan listrik.

Bisa jadi, pabrikan kendaraan lisrik terus melakukan riset, mencari bahan baku baterai pengganti nikel yang lebih efisien. Ketemulah lithium iron phospate (LFP), bahan baku baterai bukan nikel yang harganya lebih murah. Saat ini, sudah banyak industri kendaraan setrum menggunakan baterai LFP. Selamat tinggal nikel.

 

Sumber: Inilah.com