“Yang anehnya dalam Pengadaan Coretax ini malah dibalik. Ini belanja teknologi dulu. Jadi proses bisnisnya mau meniru dari yang sudah dimiliki oleh vendor, baru regulasinya” Ketua IWPI Rinto Setiyawan
Setelah eror berkali-kali hingga akhirnya kembali diterapkan sistem lama (DJP Online), aplikasi Coretax akhirnya masuk KPK.
Lewat laporan Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), komisi antirasuah siap mencermati celah-celah korupsi di proyek aplikasi senilai Rp1,3 Triliun tersebut.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur memastikan akan menindaklanjuti laporan IWPI soal Coretax.”KPK Memiliki waktu 30 hari kerja untuk menelah kasus yang dilaporkan itu habisnya 11 Maret 2025 mas,” kata Asep dalam keterangannya.
Saat ini kata Asep, bundel laporan soal Coretax masih di Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM) untuk dianalisis.”Direktorat PLPM atau Direktorat Dumas nanti akan dilakukan dilihat apa mungkin dokumen yang diperlukan oleh analisis analis dari Dumas dan akan dimintakan kepada si pelapor kita tunggu saja ya seperti itu. kalau ini besar ini nilainya Rp1,3 triliun,” kata Asep.
Untuk menambah cepat kerja KPK, IWPI memberikan data tambahan agar kasus yang membuat setoran pajak negara kendor. Ketua Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Ahmad Nawardi, mendapat info hanya 20 juta faktur pajak yang bisa dikumpulkan pada Januari 2025. Jauh di Bawah capaian Januari 2024 sebanyak 60 juta faktur pajak. Akibatnya, penerimaan pajak pada awal tahun diklaim mencapai Rp50 triliun dari realisasi sebelumnya Rp172 triliun.
Akhirnya, target pajak dipatok Rp2.183,9 triliun atau naik 11,6 persen dibandingkan 2024, bisa terancam gagal tercapai.
4 Alat Bukti Korupsi Coretax
Ketua Umum (Ketum) IWPI Rinto Setiyawan menyampaikan telah menyerahkan sejumlah bukti dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan Coretax pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Tahun Anggaran 2020-2024.
Rinto mengungkapkan, pihaknya sebenarnya telah menyiapkan 4 alat bukti. Pertama, dokumen di antaranya surat, pengumuman tender, dan Keputusan Dirjen Pajak.
Kedua, lanjut dia, adalah bukti petunjuk. Ini merupakan bukti-bukti pemberitaan berbagai media massa, termasuk daring terkait berbagai permalahan aplikasi Coretax.
“Hasil-hasil capture tangkapan layar aplikasi Coretax error dan kendala-kendala terkait penggunaan aplikasi Coretax yang telah dilaporkan oleh wajib pajak yang kepada IWPI,” kata Rinto kepada inilahcom.
Sedangkan bukti ketiga dan keempat yang telah dipersiapkan IWPI, yakni saksi dan juga ahli jika KPK memerlukannya. “Jadi sebenarnya sudah ada empat alat bukti dan bisa digunakan,” ujarnya.
Ketika ditanya apa indikasi awal terjadi dugaan terjadinya korupsi dalam proyek Coretax ini, Rinto mengatakan, tidak berfungsinya berbagai fitur dalam aplikasi senai lebih Rp1,3 triliun yang diluncurkan pada 31 Desember 2024 dan mulai digunakan pada 1 Januari 2025 tersebut.
“Sampai saat ini banyak anggota kami dari IWPI, dari wajib pajak di seluruh Indonesia masih menemukan banyaknya mal fungsi aplikasi Coretax ini,” pungkasnya.
Celah Korupsi Aplikasi Super Mahal
Dari laman resmi Ditjen Pajak, LG CNS-Qualysoft Consortium menjadi pemenang pengadaan sistem informasi Coretax senilai Rp1.228.357.900.000 (termasuk pajak).
LG CNS-Qualysoft Consortium yang beralamatkan di Jakarta ini nantinya akan menyediakan solusi Commercial Off The Shelf (COTS) untuk Sistem Inti Administrasi Perpajakan dan mengimplementasikan solusi tersebut.
Dari berbagai literatur, COTS adalah produk-produk berupa suatu paket aplikasi, subsistem ataupun modul-modul perangkat lunak yang dirancang sesuai standar proses bisnis tertentu dan tersedia secara luas di pasar untuk dapat dipergunakan dengan modifikasi seminimal mungkin. LG CNS Qualysoft-Consortium nantinya menyediakan sistem informasi yang akan menggantikan sistem informasi yang selama ini dipakai oleh Direktorat Jenderal Pajak sejak 2002 dan kini sudah usang.
Dengan anggaran super besar, harusnya aplikasi Coretax mampu melibas urusan SPT kurang lebih 70 juta wajib pajak. Namun nyatanya, selain penerimaan negara terancam, proyek prestisius Presiden Prabowo lewat Makan Begizi Gratis (MBG) bisa terganggu.
IWPI dalam laporannya ke KPK, menuding tak ada proses bisnis dalam proyek pengadaan Coretax. Rinto menjelaskan, dalam proyek pengadaan aplikasi pemerintah ini paling tidak harus mengikuti tiga proses utama.”Bisnis, regulasi, baru terknologi,” kata Rinto.
“Yang anehnya dalam Pengadaan Coretax ini malah dibalik. Ini belanja teknologi dulu,” kata Rinto. IWPI menuding, dalam kasus Coretax ini, DJP seharusnya menjalankan proses bisnis regulasi sama belanja teknologi. Namun justru belanja teknologi dulu.”Jadi proses bisnisnya mau meniru dari yang sudah dimiliki oleh vendor,” kata Rinto.”baru regulasinya,” sambungnya.
Dari regulasi terbalik ini, Rinto haqqul yakin ada kerugian negara dalam megaaplikasi Coretax senilai Rp1,3 triliun.”Potensi kerugian negara Karena wajib pajak tidak bisa menerbitkan faktur pajak, akhirnya tidak bisa setor. Jadi itu kerugiannya sangat banyak,” katanya.
Belum lagi urusan ratusan orang yang direkrut khusus untuk ‘mengawal’ aplikasi super “muahal” ini.”Ada 169 orang Dari Kemenkeu untuk mengawal aplikasi Cortex ini yaitu tim PSIAP (Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan),” kata Rinto.
Jika melihat keluhan tentang Coretax sejak diluncurkan 1 Januari 2025, IWPI melihat kasus Coretax bukan hanya soal korupsi.
“Ada tindak pidana lain selain tindak pidana korupsi, tapi juga ada tindak pidana di bidang perpajakan,” kata penasihat IWPI, Ray Alisandro kepada inilahcom.
Dengan dukungan pemerintah pusat seperti Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, yang meminta Presiden Prabowo memerintahkan jajarannya untuk audit sistem inti perpajakan yang eror saat diluncurkan, harusnya KPK bisa langsung “gas pol” melakukan gelar perkara untuk menentukan status hukum aplikasi Coretax. [riz]