Coretax Masih Terkendala, Bos Pajak Harus Bertanggung Jawab, Ancamannya Dipecat hingga Pidana


Gara-gara implementasi Coretax banyak kendala, DPR dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sepakat menerapkan sistem perpajakan secara paralel. Sistem lama yakni DJP Online dihidupkan lagi.

Intinya, sistem Coretax yang nilai investasinya Rp1,3 triliun, benar-benar bermasalah kalau tak ingin disebut gagal. Dalam hal ini, ada sanksi yang harus ditanggung Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Suryo Utomo.

Direktur Kebijakan Publik Center of Economics and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar menjelaskan, Suryo berpeluang mendapatkan sanksi atas terkendalanya Coretax hingga saat ini.

Peluang sanksi itu, kata Media, diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam pasal 54, dijelaskan, kegagalan penyelenggaraan layanan publik, bisa menyebabkan penyelenggara atau pelaksananya dikenai sanksi administrasi. Berupa teguran hingga pencopotan jabatan. Dalam perkara ini, Coretax termasuk layanan publik

Lebih seram lagi pasal 55 dan 56 UU Pelayanan Publik, menjelaskan peluang sanksi pidana dan denda apabila layanan publik menyebabkan korban fisik, maupun kerugian negara.

“Ada kemungkinan pengenaan sanksi administrasi terhadap Dirjen Pajak atau pejabat terkait jika kegagalan Coretax menyebabkan tidak terpenuhinya standar pelayanan publik,” ujar Media, Jakarta, dikutip Jumat (14/2/2025).  

Apalagi, jika Coretax terbukti menghambat penerimaan pajak secara signifikan, harus ada evaluasi kinerja berupa sanksi administrasi kepada pimpinan DJP.

“Bisa dibuka ruang terkait penyelidikan jika ada indikasi kelalaian atau penyalahgunaan kewenangan dan maladministrasi dalam proses pengadaan Coretax ini,” tambahnya.

Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan menilai ada kesalahan fatal dalam urutan proses perencanaan dan implementasi sistem Coretax. Di mana, setiap pembuatan software harus mengikuti tiga tahap. “Pertama, proses bisnis. Pemerintah harus menetapkan dengan jelas bagaimana sistem perpajakan akan dijalankan,” ungkap Rinto.

Kedua, lanjut Rinto, regulasi. Setelah proses bisnis terdefinisi, regulasi perlu disusun untuk mendukung pelaksanaan proses tersebut. “Ketiga soal teknologi dikembangkan atau diadakan sesuai kebutuhan yang sudah ditentukan sebelumnya,” terangnya.

Namun, lanjut Rinto, kasus Coretax justru terbalik tahapannya. Tahap regulasi, pemerintah mendahulukan penerbitan Perpres 40/2018 tanpa memastikan proses bisnis yang solid. Tahap teknologi, Coretax dikembangkan menggunakan COTS (Commercial Off-The-Shelf), yaitu software setengah jadi yang diadaptasi dari sistem perpajakan Austria.

“Proses bisnis, pemerintah mengandalkan proses bisnis bawaan dari COTS tersebut. Padahal sistem itu dirancang untuk Austria, negara yang populasi hanya 9 juta jiwa dan negara dengan sistem perpajakan tidak serumit Indonesia. Karena semuanya salah, wajar jika semuanya nyungsep,” kata Rinto.

Ia menambahkan, tujuan utama Coretax adalah fokus meningkatkan penerimaan pajak, bukan sekaligus memperbaiki sistem perpajakan yang sudah ada. Tanpa perbaikan menyeluruh diproses bisnis perpajakan, sistem apapun yang diadopsi akan sulit berfungsi optimal.

“Pemerintah perlu mengevaluasi kembali pendekatan yang digunakan agar investasi besar dalam teknologi ini, benar-benar memberikan manfaat yang maksimal bagi penerimaan negara,” pungkasnya.

Sedangkan Dirjen Pajak Suryo Utomo mengakui, Coretax mengalami berbagai kendala sejak diluncurkan 1 Januari 2025. Sejatinya, sistem ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan. Namun, gangguan teknis yang terjadi dalam sebulan terakhir menimbulkan kekhawatiran akan berdampak kepada penerimaan negara.

Namun, Suryo menegaskan bahwa hingga saat ini, belum terlihat dampak signifikan terhadap penerimaan pajak akibat kendala pada core tax tersebut. Menurutnya, evaluasi penerimaan pajak baru bisa dilakukan setelah periode pelaporan pajak berjalan sepenuhnya.

“Ini kan dampaknya baru kelihatan nanti besok ya, karena yang Januari lapornya di bulan Februari,” kata Suryo kepada awak media di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/2/2025).