Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengklaim dapat mengesampingkan aturan dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) terkait aturan penyadapan.
“Dengan demikian, berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis, KPK dapat saja melakukan penyadapan berdasarkan UU No. 19 Tahun 2019 tanpa perlu mengikuti ketentuan yang diatur dalam KUHAP,” kata Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, melalui keterangan tertulis kepada wartawan di Jakarta, Selasa (25/3/2025).
Tanak menjelaskan, KPK merupakan lembaga khusus yang menangani tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, memiliki kewenangan penyadapan pada tahap penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam UU KPK No. 19 Tahun 2019. Sementara itu, RKUHAP hanya mengatur penyadapan pada tahap penyidikan.
“KPK adalah lembaga negara yang dibentuk secara khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor. Lembaga ini khusus menangani perkara tindak pidana korupsi dan dalam melaksanakan tugasnya, KPK diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyadapan pada tahap penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam UU No. 19 Tahun 2019,” jelas Tanak.
Dia menilai, apa yang hendak diatur melalui RKUHAP, lebih menyasar pada perkara tindak pidana umum.
“Penyadapan yang diatur dalam KUHAP lebih bersifat umum karena dapat dilakukan dalam perkara tindak pidana apa saja dan dapat dilakukan oleh penyidik Polri serta penyidik lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan,” terangnya.
Diketahui, DPR tengah membahas revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Dalam rancangan, aturan mengenai penyadapan tertuang dalam Pasal 124 draf revisi KUHAP, yang menyebut bahwa penyadapan dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan.
“Penyidik, PPNS, dan/atau Penyidik Tertentu dapat melakukan penyadapan untuk kepentingan penyidikan,” demikian bunyi Pasal 124 ayat (1) draf revisi KUHAP, dikutip Jumat (21/3/2025).
Pada ayat berikutnya, diatur bahwa penyadapan harus mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri.
“Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri,” lanjut ketentuan tersebut.
Namun, dalam kondisi mendesak, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri. Kondisi mendesak tersebut meliputi:
a. Potensi terjadinya bahaya maut atau ancaman luka berat;
b. Permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara; dan/atau
c. Permufakatan dalam tindak pidana terorganisasi.
Selanjutnya, pada ayat kelima disebutkan bahwa jika penyadapan dilakukan dalam keadaan mendesak, maka persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri harus segera dimohonkan dalam waktu paling lama satu hari setelah penyadapan tanpa izin dilakukan.
“Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menolak untuk memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), penyadapan yang sedang dilakukan wajib dihentikan serta hasil penyadapan tidak dapat dijadikan sebagai barang bukti dan harus dimusnahkan,” demikian bunyi draf tersebut.
Kemudian dijelaskan pada Pasal 125, penyadapan hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu maksimal 30 hari. Penyidik dapat mengajukan perpanjangan selama 30 hari lagi dengan mengajukan permohonan kepada atasan, yang kemudian meneruskan permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Hasil penyadapan bersifat rahasia. Jika hasil penyadapan tidak relevan dengan kepentingan penegakan hukum atau telah habis masa penyimpanannya, maka hasil tersebut harus dimusnahkan.