Hangout

Curhat dan Komentar di Medsos, Cerminan Siapa Diri Kita

Mungkin saya dan Anda terbiasa membaca status curhatan, komentar teman, atau siapapun di media sosial. Tak hanya urusan makanan, traveling tetapi terkadang masalah yang bersifat pribadi alias urusan dapur juga diumbar di medsos. Waduh! Mengapa orang curhat di medsos dan apa dampaknya?

Di era serba teknologi saat ini, hampir semua orang memiliki akun media sosial seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, atau yang lainnya. Dengan mudah orang berbagi apa saja dari mulai urusan bisnis hingga ke masalah pribadi, curhat di medsos.

Contohnya dari yang simpel, saat lagi makan, simpan di story. Lagi jalan-jalan sama temen, Anda update lokasi.
Curhat di medsos memang punya daya tarik tersendiri buat yang suka curhat. Kita menjadi merasa seperti ada yang memperhatikan ketika teman-teman meresponsnya. Hal itu membuat kita merasa mendapat reward seperti rasa senang dan ingin melakukannya lagi.

Namun, seringkali curhatan membuat risih orang yang membacanya mengingat bersifat sangat pribadi. Misalnya saja curhatan ‘Percuma punya laki gak bisa diandelin, loyo’, ‘Jadi anak kok serba salah, jadi korban marah-marah orang tua melulu’ atau ‘Cape-cape kerja abis buat bayar utang’, atau bisa juga ungkapan fleksing ‘Roda empat deh sekarang mah biar gak kehujanan melulu’, dan masih banyak lagi.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan curhat dan berkomentar di media sosial karena memang ruang yang sangat bebas untuk semua orang bersuara. Tapi, harus diingat konsekuensi atau dampak dari komentar baik positif maupun negatif.

Contoh kecil saja ketika kita pamer kekayaan seperti mobil atau rumah baru, tentu bisa menjadi bahan bagi petugas pajak untuk menagih pajak Anda.

Hasrat Alami

Menurut American Psychological Association setiap manusia punya dorongan alami untuk mengukur apakah kita itu bisa melebihi kapasitas orang lain. Ada sebuah hasrat yang membuat ingin lebih unggul daripada orang yang ada di medsos tersebut.

Mengapa orang suka sharing di medsos? Curhat atau berkomentar di medsos memang punya daya tarik tersendiri buat kita yang menyukainya. Ada beberapa faktor yang mendasarinya. Misalnya ada orang yang tidak memiliki teman atau kalaupun ada, sulit untuk mengobrol atau curhat atau komentar di dunia nyata.

Faktor lainnya biasanya media sosial mendorong dan memberikan kita reward jika melakukan itu. Jika curhatan kita mendapat like, respons atau komentar yang membuat senang tentu akan mendorong untuk melakukan sharing lagi. Faktor berikutnya adalah ketika kita men-share di media sosial ada kemungkinan merasa mendapat perhatian.

Seperti di Instagram ketika kita tahu siapa yang melihat story kita membuat kita merasa bahwa kita dilihat sama orang. Padahal belum tentu juga orang yang melihat story itu memperhatikan kita. Selain itu, seringkali ada perasaan lega ketika kita sudah curhat atau uneg-uneg di media sosial. Sehingga seperti terbebas dari stres atau tekanan.

Hanya saja, kadang-kadang kita berada pada titik sharing atau curhat secara berlebihan di medsos. Sharing secara berlebihan di medsos ini, istilahnya bisa kita sebut sebagai oversharing. Oversharing adalah ketika kita sangat sering membagikan permasalahan pribadi atau curhat tentang permasalahan personal kita di media sosial.

Oversharing Kebablasan

Oversharing inilah yang kemudian sering memicu kebablasan dan menimbulkan miskomunikasi. Padahal curhat memicu komentar yang tidak selalu bernada positif tetapi juga negatif sehingga sangat rentan terjadi kesalahpahaman.

Terkadang orang tidak melihat pesannya secara utuh tapi highlight di awal saja terus langsung memberikan komentar. Seakan-akan ia adalah ahli di bidang itu.

Ketika kita memberikan komentar negatif seperti punya perasaan lebih unggul daripada orang yang menulis.

“Kalau saya ketika melihat postingan tertentu kok gini sih. Tapi saya tahan, ini bagian dari pengendalian diri. Karena pertama, saya belum tentu ahli di bidang tersebut. Kedua persepsi orang pasti beda-beda yang ketiga karena tidak kenal orang itu. Jadi saya pilih pikir-pikir dulu,” ungkap Analisa Widyaningrum, psikolog yang juga seorang YouTuber.

Fenomena berkomentar dan curhat di medsos ini juga berkaitan dengan literasi. Salah satu konsekuensi dari rendahnya literasi kita terlihat di media sosial. Literasi itu adalah kemampuan kita untuk bukan sekadar membaca tapi benar-benar paham.

Seringkali kali komentar tanpa pemahaman yang cukup ini menimbulkan persoalan. Banyak contoh ada netizen atau pemilik akun yang disomasi atau diadukan ke polisi karena komentarnya di medsos.

Perlu kita ketahui kalau kolom komen bukan tempat yang pas untuk unjuk diri, salah-salah bisa kehilangan harga diri.

Jadi tetap berhati-hatilah curhat dan berkomentar di medsos, jangan terbawa nafsu. Karena selain berisiko, juga menjadi cerminan siapa diri kita sebenarnya. [ikh]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button