Dalam Bayang-bayang Judi: Krisis Moral Menghantui TNI-Polri dan Negeri

Minggu, 17 November 2024 – 13:05 WIB

Ilustrasi pemberantasan judi online (Desain: Inilah.com/Brenda Febry)

Ilustrasi pemberantasan judi online (Desain: Inilah.com/Brenda Febry)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Ibarat kanker yang membuat tubuh rapuh, demikian pula judi dalam kehidupan bernegara. Jadi benar pernyataan Prof Griffiths yang bersipongang beberapa waktu lalu. “Ini bukan lagi soal kontrol individu; kita membutuhkan sistem yang dapat mendeteksi dan mencegah perilaku adiktif sebelum terlalu banyak korban berjatuhan.” Sebuah peringatan, bahwa penuntasan judi online telah jadi panggilan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk bersatu dalam melindungi masa depan bangsa.

Setiap orang dan entitas, bahkan negara sekalipun, sesekali perlu jamu, penawar dan obat bagi tubuh yang tengah gering. Tiga hari menjelang Hari Pahlawan 10 November, Koordinator Kelompok Humas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Natsir Kongah, membawakannya untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI), untuk negeri. Pahitnya lebih getir dari empedu, terutama buat Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto.

Tiga hari menjelang waktu yang pada 79 tahun lalu sekian banyak kusuma negara gugur di Surabaya itu, Natsir mengungkap sebuah kenyataan yang bisa mengguncang kepercayaan publik. Dalam nada yang biasa namun pahit terasa, ia mengabarkan bahwa hampir seratus ribu anggota TNI dan Polri—sosok yang semestinya tegak melindungi bangsa—terjebak dalam transaksi judi daring. Natsir tak mengomentari fakta tersebut, ia hanya mengungkap data. Mungkin saja kepedihan hatinya mengalahkan semua kehendaknya untuk berkata-kata. 

Namun, dengan wajah serius, di balik mikrofon Natsir menyebut angka yang mencengangkan. Sekitar 97 ribu anggota keamanan negara terlibat dalam pusaran judi online, sebagian besar sebagai pemain yang menaruh nasib mereka di tangan algoritma acak. Seolah panglima di medan tempur yang terjebak mimpi kemenangan, mereka terpikat oleh iming-iming kekayaan instan di ujung klik layar.

Untunglah, respons pihak TNI tergolong sangat cepat. Hanya dalam hitungan pekan, tercatat sekitar 4.000 prajurit menerima sanksi disiplin, mulai dari hukuman ringan hingga pidana. Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto menegaskan bahwa penegakan disiplin ini merupakan langkah untuk menegaskan kembali nilai-nilai Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. “Setiap pelanggaran, apalagi yang mencemarkan kehormatan institusi, harus ditindak tegas,” kata Jenderal Agus dalam sebuah apel gabungan di Mabes TNI, Cilangkap.

Namun, masih banyak orang yang melihat kecepatan ini pun menyisakan tanya. Di luar sana, di pojok-pojok warung kopi dan media sosial, suara-suara sumbang berkumandang. “Benarkah sanksi itu lebih dari sekadar pengumuman basa-basi untuk menenangkan kita?” demikian yang antara lain muncul dalam bisik-bisik warung kopi.

post-cover
Sebelah kiri: Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto (foto Antara)

Sementara pengamat keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menyebut bahwa kasus ini perlu ditindak dengan transparansi penuh agar tidak sekadar jadi retorika. “Kalau hanya bicara disiplin tanpa bukti nyata di lapangan, masyarakat akan tetap skeptis,” ujar Bambang. 

Anwar Abbas, wakil ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), melihat masalahnya tak sekadar isu kedisiplinan militer. Dalam pandangannya, ini adalah “darurat nasional” yang menuntut langkah tegas seluruh lapisan masyarakat. “Jika aparat yang seharusnya menjaga keadilan justru terseret dalam jerat judi, maka kita berada di ambang krisis besar,” kata Anwar. Baginya, krisis ini merupakan cerminan nyata betapa runtuhnya moralitas di tengah teknologi yang kian leluasa menembus apa pun batas.

Kehidupan dalam Seragam: Judi dan Kesulitan Hidup

Di balik angka dan fakta yang terpapar di hadapan publik, tersembunyi cerita-cerita pribadi yang kompleks. Gaji seorang Kopral Kepala, yang berada di rentang Rp1,9 hingga Rp2,9 juta per bulan, nyatanya kerap tak sebanding dengan kebutuhan hidup sehari-hari. 

Advertisement

Advertisement

Dalam komunitas prajurit yang seringkali  tinggal di asrama atau barak sederhana, masalah kesejahteraan itu semakin penting terasa. Di beberapa asrama TNI, keluarga prajurit hidup berdesakan dalam perumahan petak-petak kecil, dengan fasilitas minim namun terpatok sekian peraturan ketat. “Bagi kami, asrama bukan sekadar tempat tinggal, tetapi ladang ujian sabar,” ujar seorang istri prajurit yang telah belasan tahun tinggal di asrama tersebut. Ia meminta anonimitas. 

Fakta itu didukung sebuah makalah yang dimuat di e-jurnal academia.edu pada 2021, berjudul “Dinamika Kehidupan Istri Prajurit TNI AD yang Tinggal di Asrama Militer”, ditulis Sri Kusyuniati. Artikel tersebut mengungkap kehidupan asrama militer yang penuh dengan keterbatasan, baik dari segi fasilitas maupun dukungan sosial. Para istri prajurit, terutama yang suaminya berpangkat rendah, harus menanggung kesepian dan keterbatasan sosial, sering kali tanpa dukungan emosional yang cukup. Dalam makalah itu disebutkan temuan beberapa istri prajurit yang mengalami perasaan putus asa, depresi, dan kebosanan, terutama ketika jauh dari keluarga besar dan lingkungan yang mendukung. 

“Hidup di asrama itu bagaikan terkurung dalam batas-batas tak terlihat,” ungkap salah satu istri prajurit yang hanya bisa melepaskan keluhannya kepada sesama anggota komunitas Persit Kartika Candra Kirana (KCK).

Tidak hanya itu, sistem hierarki di asrama juga memengaruhi relasi sosial antarpenghuni, di mana istri perwira dan tamtama memiliki status yang berbeda. Hierarki ini menuntut setiap anggota untuk mematuhi aturan, bahkan dalam hal kecil, sehingga sering kali para istri merasa tidak memiliki ruang pribadi untuk mengekspresikan diri.

Namun soal (rendahnya) kesejahteraan itu dinafikan Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI, Mayjen TNI Yusri Nuryanto. Yusri menegaskan, judi online di kalangan prajurit TNI tidak berkaitan dengan ketidaksejahteraan. “Kalau masalah kesejahteraan, kita sudah alhamdulillah, dalam arti untuk sekarang ini kesejahteraan prajurit sudah cukup baik,” kata Danpuspom. Dirinya lebih percaya bahwa faktor yang mendorong prajurit terjerumus dalam praktik tersebut tak lain kebiasaan mereka bermain gawai atau handphone selama waktu luang. “Ya,  faktornya kan kita namanya TNI, dengan usia mereka ini yang hari-harinya memegang HP, sehingga mudah untuk mereka menggunakan (HP untuk main judi online) saat waktu-waktu luang,” ujar Mayjen Yusri di Kantor Bea Cukai, Jakarta Timur, Kamis (14/11/2024). 

Motivasi Berjudi

Para ahli menyebut keterbatasan gaji dan tunjangan sebagai salah satu alasan personel TNI terjerat dalam judi online. Secara psikologis, kebiasaan berjudi juga sering kali dijelaskan dengan teori Variable Ratio Reinforcement dari B.F. Skinner. Teori ini menyatakan bahwa hadiah acak (seperti kemenangan dalam judi) menciptakan efek ketagihan yang kuat, membuat individu terus mencoba meskipun sering kalah. “Perilaku ini diperkuat oleh harapan akan kemenangan yang tidak pasti, yang membuat individu terus bermain,” kata Skinner dalam teorinya.

Prof. Dr. Mark Griffiths, guru besar psikologi dari Nottingham Trent University yang juga mengkaji perilaku adiktif, punya penjelasan. “Judi memberikan kepuasan instan, dan individu yang berada dalam tekanan finansial atau emosional sering kali terjebak dalam pola adiktif ini,”kata Prof Griffiths dalam penelitiannya mengenai perilaku adiktif judi. “Mereka terus berjudi untuk mengatasi stres, namun sebenarnya malah memperburuk kondisi.” 

Dari dalam negeri, ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, mengingatkan hasil survey yang menyebut tiga motivasi utama para penjudi online, yakni ingin kaya, hendak melupakan masalah,  dan sebagai hiburan. Karena itu, meski menyetujui langkah pemidanaan mereka yang terlibat, Reza mengingatkan untuk tidak melupakan ketiga dimensi lainnya selain pidana. 

post-cover
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel. (Foto: Antara/Fathnur Rohman).

“Penegakan hukum jelas penting untuk dikedepankan,”kata Reza. “Tetapi yang tiga lainnya pun jangan diabaikan. Bagaimana kita harus mencari solusi untuk mereka yang  menjadikannya semata rekreasi, keguyuban sosial, hajatan; mereka yang terkena adiksi tentu harus disembuhkan lewat rehabilitasi; selain juga jangan lupa, ada orang tertentu yang memang sengaja berprofesi, mencari penghidupan  sebagai penjudi.”

Reza juga mengingatkan tentang perilaku hindsight bias yang umum diidap para penjudi (daring). Hindsight bias adalah kecenderungan seseorang untuk melihat peristiwa yang telah terjadi sebagai sesuatu yang lebih dapat diprediksi dibandingkan dengan realitas sebenarnya. “Dia minimalkan seminimal-minimalnya peluang untuk kalah. Di sisi lain dia terus meyakinkan diri bahwa di langkah berikutnya dia akan menang dan menang,”kata Reza. 

Reza sendiri mengajak semua pihak untuk tegas berdiri diametral berhadapan dengan segala bentuk perjudian, termasuk judi online yang tengah meresahkan itu. “Kita harus zero tolerance  terhadap judi, seperti juga dikatakan Presiden Prabowo.”kata Reza.  Karena itu, ia mengaku aneh alias merasa ganjil, saat sebuah institusi negara berapologi bahwa semua hanya iseng, untuk menjawab banyak personelnya yang terlibat judi online. 

Personel Kurang Kerja? 

Pandangan di luar sana kadang keliru menganggap tentara sebagai sosok yang hidup di bawah anggapan “tak banyak kerjaan” di masa damai. Realitasnya kadang jauh dari anggapan tersebut. Bagi seorang prajurit, rutinitas latihan, tes kebugaran, patroli keamanan, hingga pengawasan di daerah perbatasan menjadi tugas sehari-hari. Di Akademi Angkatan Udara, misalnya, Bintara dan Tamtama dihadapkan pada tes samapta yang rutin mencakup lari, push-up, sit-up, dan berbagai latihan kekuatan lainnya. Jangan lupa, itu menjadi jadwal harian mereka. 

Di Lantamal XII, misalnya, ada program On-the-Job Training yang menyiapkan anggota muda dengan keterampilan tempur yang nyata. Bukan sekali dua Komandan Lantamal XII, Laksamana Pertama TNI Avianto Rooswirawan, menyatakan, “Pelatihan ini bukan hanya fisik, tapi juga soal mental, kesiapan menghadapi kondisi di lapangan yang tak terduga.” Bagi seorang prajurit, tugas adalah panggilan, bahkan dalam suasana damai, dan di balik tugas-tugas rutin ini, mereka membawa tanggung jawab besar dalam menjaga stabilitas.

Di tengah tugas berat itulah, godaan judi online tampaknya selalu hadir. “Mungkin ini soal kedisiplinan pribadi, namun tak bisa dimungkiri bahwa realitas sosial juga mempengaruhi,” ujar seorang perwira senior. Tugas sehari-hari yang menuntut disiplin tinggi bukanlah jaminan seseorang bisa menghindari godaan dunia digital yang kian tak terkontrol. Apalagi bila kita bicara soal kejenuhan. 

post-cover
Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Mayjen Yusri Nuryanto. (Foto: Inilah.com/Syahidan)

Sementara aparat dewasa bergulat dengan moralitas, ancaman judi online juga diam-diam menyusup ke kalangan yang lebih muda. Dalam laporan PPATK, disebutkan, sepanjang 2024 keterlibatan anak-anak dalam judi daring meningkat hingga 300 persen, dengan angka yang mencapai lebih dari 197.000 anak terpapar. Melihat  data itu, sampai-sampai Ketua DPR RI, Puan Maharani, menegaskan bahwa judi online adalah racun yang tak terlihat. “Anak-anak muda kita sekarang semakin mudah terjerat,” kata Puan.

Bayangkan saja, dengan akses yang hanya sejauh jari di layar ponsel, anak-anak usia 11 hingga 19 tahun menjadi sasaran empuk judi daring. Apalagi judi itu pun dengan licik diselipkan lewat iklan game dan media sosial. Di balik angka-angka itu tersimpan ancaman masa depan yang kian rapuh. “Tanpa pengawasan yang ketat dari orang tua dan lingkungan, anak-anak kita bisa terseret arus yang menghancurkan,” kata Puan. Bagi Puan, fenomena ini bukan hanya tanggung jawab keluarga, tetapi juga negara.

Menghadapi fenomena tersebut, pemerintah tak bisa sekadar memblokir situs judi sebagai satu-satunya solusi. Pengamat keamanan Bambang Rukminto dari ISESS, termasuk yang kukuh pada pendapat tersebut. “Jika pemerintah benar-benar serius, penanganan harus mencakup pelacakan sumber dana dan pola transaksi yang melibatkan dana judi,” ujarnya. Bambang percaya bahwa solusi jangka panjang akan lebih efektif dengan memutus rantai aliran uang ketimbang hanya menutup akses.

Presiden Prabowo Subianto sendiri telah menginstruksikan untuk menangani masalah ini dengan lebih mendalam. “Ini bukan sekadar soal teknologi, tapi juga soal moralitas bangsa. Kita harus serius dalam hal ini,” kata Presiden dalam pidato di Istana Negara.

Jelas, di balik krisis ini ada pertarungan besar antara moralitas dan realitas digital yang semakin kompleks. Perjudian daring tidak hanya menjadi tantangan bagi institusi, tetapi juga ancaman yang menyusup ke dalam kehidupan individu, keluarga, dan generasi muda. Seperti api yang menyebar, judi daring mengancam untuk meruntuhkan moralitas bangsa jika tak segera ditangani dengan langkah yang lebih tegas dan komprehensif.

Sudah saatnya kita mendengar ulang pernyataan Prof Griffiths. “Ini bukan lagi soal kontrol individu; kita membutuhkan sistem yang dapat mendeteksi dan mencegah perilaku adiktif sebelum terlalu banyak korban berjatuhan.” Sebuah peringatan, bahwa langkah pencegahan bukanlah sekadar tugas aparat, tetapi panggilan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk bersatu dalam melindungi masa depan bangsa. [dsy/vonita betalia]

Topik

BERITA TERKAIT