Arena

Dana Dipersoalkan, Suharto Justru Angkat Topi dengan Panitia SEA Games XIX 1997

Ketua Bidang Prasarana dan Sarana SEA Games XIX 1997, Letjen TNI Marinir (Purn) Suharto mengaku aneh jika dana talangan perhelatan olah raga 25 tahun lalu itu kembali dipersoalkan. Bahkan, beberapa presiden sebelumnya tidak pernah mengutak-atik dana talangan ini.

Pasalnya, sumber dana tersebut bukan berasal dari APBN. “Saya kira, 25 tahun itu kan masa yang cukup panjang, berapa presiden itu kan. Dan tidak pernah dipersoalkan waktu itu dan sekarang kok di otak-atik. Ini kan aneh,” tukas Suharto di Jakarta, Minggu (6/11/2022).

Ia justru mengaku angkat topi dengan kerja keras Panitia Penyelenggaraan SEA Games XIX 1997. Panitia dinilai sukses menyelenggarakan Pesta Olahraga Asia Tenggara ini tanpa dukungan logistik berupa alokasi APBN dari pemerintah.

“Dana SEA Games 1997 lalu, tak sepeser pun dari pemerintah. Tetapi hebatnya, Indonesia keluar sebagai juara umum. Ini prestasi yang membanggakan,” ujar

Menurut dia, dana penyelenggaraan SEA Games ini bersumber dari konsorsium swasta yang dikelola oleh PT Tata Insani Mukti.

Konsorsium ini diberi amanah oleh presiden melalui Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) mencarikan dana untuk pelaksanaan Sea Games XIX 1997 di Jakarta.

Sementara, negara tidak memiliki pos anggaran untuk pelaksanaan Sea Games XIX 1997 di Jakarta yang mendadak pada waktu itu.

Panitia penyelenggara pun melalui Konsorsium Swasta Mitra Penyelenggara (KMP) SEA Games XIX, bekerja ekstra keras untuk bisa mendapatkan dana. SEA Games ini pun dapat terselenggara dan sukses.

“Memang tidak ada dukungan dana dari pemerintah dan tidak dianggarkan dalam APBN saat itu,” tuturnya.

Dia menerangkan, dana penyelenggaraan SEA Games ini bukan bersumber dari APBN. Tetapi dana ini murni dari pihak swasta yang diberi tugas oleh negara untuk mencarikan dana.

Dalam Permenkokesra terkait, saat itu disampaikan KMP SEA Games XIX hanya mencarikan pendanaan untuk kepentingan SEA Games XIX 1997 di Jakarta yang notabene merupakan kepentingan negara. Adapun permintaan KONI dan Kemenpora adalah maksimal sebesar Rp70 miliar.

Namun ternyata dalam perjalanannya, KONI meminta penambahan dana sebesar Rp35 milar untuk pembinaan atlet. Karena itu, dinilai sangat tidak tepat jika pemerintah kembali mengungkit-ungkit dana SEA Games 1997 ini.

“Event ini mendadak, maka tidak ada anggaran untuk perhelatan akbar tersebut, yang merupakan kepentingan negara Indonesia,” terangnya.

Sejatinya, tuan rumah perhelatan SEA Games 1997 itu adalah negara Brunai Darussalam. Namun, tiba-tiba Brunai mengundurkan diri lantaran tidak siap. Makanya, Indonesia dipilih menggantikan Brunai.

Sayangnya, saat itu, Indonesia tidak punya cukup anggaran untuk membiaya pesta olahraga Asia Tenggara ini. Karena itu,  guna mendukung SEA Games ini  maka dibuat produk hukum oleh Presiden untuk kelancaran proses pelaksanaan Sea Games XIX 1997.

Produk hukum dimaksud adalah Instruksi Presiden RI Nomor 5 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan SEA Games XIX, 1997 di Jakarta tertanggal 11 Juni 1996 dan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Selaku Ketua Badan Pembina Penyelenggara SEA Games XIX, 1997 di Jakarta Nomor: 14 / KEP / MENKO / KESRA / VII / 1996 Tentang Penunjukan Konsorsium Swasta sebagai Mitra Penyelenggara SEA Games XIX, 1997 di Jakarta.

“Sekali lagi, pihak yang mencarikan dana adalah KMP Sea Games XIX tahu 1997 di Jakarta, yaitu PT Tata Insani Mukti sebagai subyek hukum pelaksana, bukan dari APBN. Tujuannya, agar acara kenegaraan tersebut dapat terselenggara,” tuturnya.

Suharto menuturkan betapa repotnya penyelenggaraan SEA Games 1997 waktu itu, terutama di bidang sarana dan prasarana. Sebab, pihaknya harus menyiapkan 30-35 venue pada waktu itu. Di sisi lain, biaya untuk persiapan venue ini sangat besar.

Karena itu, Suharto angkat topi dengan pihak KMP yang bekerja keras mencari dana untuk membiayai SEA Games 1997 ini.

“Terus terang, saya angkat topi dengan konsorsium ini karena dapat menyediakan dana  yang diminta negara sebesar Rp70 miliar dan adanya penambahan biaya pembinaan atlet sebesar Rp35 miliar. Saya tidak tahu itu dapat dari mana. Tapi Alhamdulillah itu terselenggara dan kami di bidang sarana dan prasarana bisa melaksanakan itu. Walaupun tertatih- tatih, tetapi SEA Games itu dapat terselenggara,” imbuhnya.

Bahkan, berdasarkan laporan pengeluaran yang ada, penyelenggaraan SEA Games XIX tahun 1997 di Jakarta tersebut menghabiskan biaya lebih dari Rp156 Miliar.

Sementara itu, kuasa hukum Ketua Umum KMP SEA Games XIX 1997 Bambang Trihatmodjo, Hardjuno Wiwoho mengatakan peristiwa SEA Games yang sudah 25 tahun yang lalu dikenang sebagai pristiwa membanggakan.

Apalagi, kontingen Indonesia telah mengharumkan nama negara yang sukses sebagai tuan rumah perhelatan akbar tersebut dengan menjadi juara umum. Karena itu, sepatutnya panitia pelaksana dan KMP SEA Games ini diberikan apresiasi tinggi.

“Semestinya kita melihat peristiwa tersebut dengan adil dan bijaksana, obyektif tanpa ada tendensi apapun, komprehensif dengan melihat aspek filosofis dan sosialnya, tidak pada aspek yuridis semata,” jelasnya.

Hardjuno menegaskan, event SEA Games ini adalah untuk kepentingan negara, bukan untuk kepentingan golongan tertentu, konsorsium apalagi kepentingan pribadi.

“Perlu dipahami, penunjukan bapak Bambang Trihatmodjo sebagai Ketua Umum KMP SEA Games XIX tahun 1997 di Jakarta didasari latar belakang beliau yang saat itu sebagai putera Presiden RI Bapak Soeharto. Koneksi beliau sebaga pengusaha yang berpengaruh di saat itu dan atas adanya inisiatif dari dua orang yang memiliki kedekatan dan pengaruh bagi beliau, yaitu Saudara Enggartiasto Lukita dan Saudara Bambang Riyadi Soegomo,” ulas dia.

“Kami sangat berharap persoalan yang terjadi dapat diselesaikan dengan adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan tidak hanya aspek yuridis, namun juga aspek-aspek filosofis dan sosial yang berdasar pada fakta sejarah yang ada,” imbuhnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button