“Satu kaki kalian di kuburan, satu kaki kalian di penjara” Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar, Irjen (Purn) Rikwanto.
Aksi koboi anggota polisi kembali terjadi. Meski tak setenar drama Jenderal Ferdy Sambo beberapa tahun lalu, namun ugal-ugalannya personel ‘cokelat’ semakin menggerus kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.
Setelah aksi beringas polisi tembak polisi antara AKP Dadang Iskandar dengan korbannya AKP Ulil Ryanto gara-gara beking tambang diganjar pemecatan, muncul lagi aksi polisi main pistol tembak tiga pelajar SMK di Semarang.
Dalam rapat bersama Anggota DPR, Polrestabes Semarang mengakui kesalahan anggotanya dalam penggunaan pistol. Tak ada tawuran seperti yang sempat diberitakan, Aipda Robiq secara biadab meletuskan pistolnya kepada rombongan pemotor SMK, hanya karena tak terima senggolan di jalan.
Satu orang meninggal dunia atas aksi koboi anggota SatresNarkoba Polrestabes Semarang ini.
Dalam cuplikan video yang viral, Aipda Robiq menembak dari jarak dekat ke arah motor yang salah satunya ditumpangi korban.
Posisi Gamma Rizkynata Oktafandy berada di tengah dan dia yang mendapat luka paling parah. Gamma tewas ditembak, sedangkan 2 temannya mengalami luka, juga karena tembakan Robiq.
Hebatnya, sebelum ada CCTV yang keluar dan menunjukkan aksi keji Aipda Robiq, Polrestabes Semarang secara meyakinkan, menggelar konperensi pers bahwa sebab kematian Gamma karena aksi tawuran.
Anggota polisi seakan saling melindungi lainnya dengan menjabarkan sejumlah senjata tajam dalam rilis di Mapolres Semarang. Biar tambah meyakinkan publik, polisi juga menggelar pra rekontruksi tawuran yang dikaitkan dengan Gamma dan dua temannya.
Namun di rapat DPR, Polrestabes Semarang mendapat pukulan telak setelah propam Polda Jateng mengungkap bahwa aksi koboi Aipda Robiq, tak ada kaitannya dengan tawuran!
Ketua Komisi III Habiburokhman bahkan meluapkan kekesalannya karena panggilan teleponnya, tak digubrik oleh Kombes Pol Irwan Anwar, Kapolrestabes Semarang pasca penembakan yang membetot perhatian publik luas.
“Karena Kapolres-nya ini setelah kejadian saya telepon saja tidak angkat telepon. Bagaimana mungkin kami sebagai pengawas resmi langsung, kami ingin mendapatkan informasi dari Kapolres-nya tidak diindahkan oleh si Kapolres ini, padahal peristiwanya sangat luar biasa. Saya dengar memang ada satu orang meninggal, tiga orang terluka, lalu dengan seenaknya diklaim sebagai gangster. Gangster seperti apa?” kesalnya.
Aturan Senpi Anggota Polisi
Peraturan penggunaan senpi anggota kepolisian tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkap), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Perkap Nomor 8 Tahun 2009 dan Perkap No. 1 Tahun 2022.
Salah satu intinya, penggunaan senpi polisi hanya untuk keadaan darurat, membela diri dari ancaman kematian. Hal itu tentu tidak tercermin dari rekaman CCTV tentang aksi koboi Aipda Robig terhadap Gamma dan dua temannya.
Begitu juga dengan AKP Dadang yang tampaknya lebih melindungi penambang ilegal daripada nyawa rekan sesama korps Bhayangkara.
“Sebenarnya pelanggaran penggunaan senjata api lebih disebabkan faktor psikologis ketimbang teknis. Karena itu pengawasan dalam bentuk evaluasi berkala dari pimpinan sangat diharapkan,” kata Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil kepada inilahcom.
Karena dalam peraturan senpi anggota polisi, terdapat suatu sistem kelulusan izin dari pemeriksaan psikologis anggota sampai dengan izin istri dan keluarga.
Nasir menilai aturan tentang senpi polisi masih cukup relevan, asal dijalankan.”Dengan catatan bahwa serangkaian tes yang dilakukan itu bukan sekedar formalitas saja,” ungkapnya.
Nasir juga menilai perlunya melibatkan pihak ketiga agar proses asesmen penggunaan senjata api lebih kredibel dan berlapis.
Efek Jera untuk Polisi Semena-mena
Selain aturan ketat dan berkala soal izin senpi polisi, ancaman hukuman bagi yang melanggar juga perlu dilengkapi.
Tujuannya sama juga seperti pelaju kejahatan, biar ada efek jera.
Sejauh ini, ancaman hukuman juga telah mengisyaratkan penyalahgunaan senjata yang berakibat pada pemecatan atau Pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) serta ancaman hukuman Pidana yang diadili oleh Lembaga Penegak Hukum sampai di Lembaga Peradilan.
“Nah, untuk ancaman yang selebihnya mengakibatkan efek jera, belum terdapat aturan khusus yang mengatur (Lex specialist) bagi Anggota yang telah mendapatkan izin penggunaan senjata dimaksud,” kata Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Bob Hasan kepada inilahcom.
“Artinya bila memungkinkan efek jera tersebut harus ada peraturan yang mengatur dengan sanksi hukuman lebih berat (yang berbeda dengan sanksi pidana dalam KUHP),” sambungnya.
Tes Kejiwaan Cegah Gangguan Mental
Rangkaian tes kejiwaan memang merupakan bagian penting dari prosedur seleksi untuk memastikan polisi yang memegang senjata api berada dalam kondisi mental yang stabil.
Namun, efektivitas tes semacam ini sering kali menjadi bahan perdebatan. meskipun tes kejiwaan dapat membantu dalam mendeteksi kondisi mental yang mungkin berisiko, tidak selalu menjamin bahwa seseorang yang lolos tes kejiwaan akan bertindak dengan bijaksana dalam situasi yang penuh tekanan atau berbahaya. (Morrison, L., & Horne, C. (2019).
“Terutana harus dilakukan secara periodik, karena tingkat stres dan kondisi psikologis penegak hukum dapat berubah dalam perjalanan waktu,” kata Psikolog Klinis Adityana Kasandra Putranto saat berbincang dengan inilahcom.
Beberapa pendekatan yang bisa dipertimbangkan untuk meningkatkan efektivitas dalam mencegah penyalahgunaan senjata api oleh polisi antara lain, Tes Psikologi yang Lebih Holistik dan Berkelanjutan
“Daripada hanya menggunakan tes kejiwaan satu kali sebelum penerimaan atau penggunaan senjata api, evaluasi psikologis perlu dilakukan secara berkala (misalnya setiap tahun atau setiap kali ada perpanjangan izin memegang senjata). Hal ini membantu untuk mendeteksi perubahan kondisi psikologis anggota polisi yang mungkin mempengaruhi pengambilan keputusan mereka,” kata Kasandra.
Yang pasti, Polri harus evaluasi atas rentetan aksi koboi anggotanya. Jika dibiarkan dan bergantung pada sanksi yang ada, bisa jadi semakin menggerus kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.[Rizki/Vonita]