Kanal

Dari Desa, Pembangunan dan Pemerataan Harus Bermula

Namun, andai saja pemerintah konsisten dengan mimpi dan komitmen di awal mereka berkuasa, 2014 lalu, sebenarnya jalan mereka sudah tepat. Memang desalah yang harus menjadi perhatian dan fokus saat ini. Bukan sok ikut-ikutan teori “desa mengepung kota”-nya Mao Tse Tung. Tetapi memang membangun desa, pada dasarnya adalah membangun semesta.    

Oleh   :  Juan Turpyn*

Teori ekonomi era rejim-rejim developmentalisme, terutama teori ‘tetesan ke bawah’ (trickle down effect) yang dipelopori Albert Otto Hirschman, meyakini bahwa pembangunan mau tidak mau harus menentukan adanya titik pertumbuhan (growing point) atau pusat pertumbuhan (growing center).

Umumnya, itulah daerah-daerah industri di perkotaan. Baru setelah itu terjadi kemajuan, pertumbuhan ekonomi, dan dalam mimpi di awal tidur mereka, pemerataan kemakmuran tersebut. Dari kota, kemajuan dan kesejahteraan, dalam mimpi itu, menyebar ke pelosok perdesaan.

Kita tahu, mimpi Otto Hirschman yang diamini banyak negara, termasuk Indonesia di era Orde Baru, itu tak pernah menjadi kenyataan di realitas kehidupan. Industri—umumnya industri ala ‘tukang jahit’—bermunculan di kota-kota. Namun seiring waktu justru mati sebelum memberikan tetesan kemakmuran kepada para warga desa yang umumnya petani. Trickle down effect, atau efek tetesan ke bawah atas kemakmuran dan hasil-hasil pembangunan, yang diasumsikan akan datang dari pusat-pusat pertumbuhan dan kelompok kaya yang menempati giliran pertama penikmat hasil pertumbuhan ekonomi ke kelompok miskin dan wilayah pinggiran, tak pernah terjadi.

Dalam kenyataan, efek menetes ke bawah itu hanya harapan yang menggantang asap. Strategi trickle down effect yang mengasumsikan perlunya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu, baru kemudian melakukan pemerataan atau secara natural terjadi pemerataan, gagal total. Di Indonesia, itu dibuktikan dengan kegagalan Orde Baru memakmurkan rakyat secara merata.

Sebenarnya, sebelum kegagalan rejim-rejim developmentalis itu terbukti, banyak pemikir dan ahli ekonomi mengadang-gadang kebijakan untuk melakukan keduanya, pertumbuhan dan pemerataan, secara silmultan, parallel. Mereka bicara tentang strategi keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan atau Growth with Equity. Bahkan Orde Baru, yang sejak Pelita III pun memiliki panduan sekaligus tujuan pembangunan ekonomi, yakni Trilogi Pembangunan. Ketiga logos itu adalah ‘Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya; ‘Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan ‘Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis’. Lihatlah, bahkan Orde Baru pun menempatkan pemerataan lebih dulu dibanding pertumbuhan ekonomi. Setidaknya secara teori.

Persoalannnya, keinginan untuk mencapai target secara simultan itu tetap menemui persoalan. Keberhasilan ternyata meniscayakan adanya konsentrasi tinggi. Keharusan untuk fokus. Tiadanya prioritas yang lebih tinggi di antara keduanya, karena di lapangan sesungguhnya pertumbuhanlah yang menjadi panglima, justru berpeluang membuat kedua-duanya, baik pertumbuhan atau pun pemerataannya, tak berhasil optimal.

Idealisme yang sama pernah dijalankan Presiden SBY manakala berkuasa. Saat itu, kata beliau, untuk mewujudkan pembangunan dan pemerataan secara bersamaan, ia menetapkan triple track strategy, yaitu strategi yang pro-growth, pro-job, dan pro-poor dalam pembangunan ekonomi nasional. Namun hasil pekerjaan SBY selama 10 tahun pun tidak begitu mengesankan.

Bagaimana Presiden Jokowi? Sebenarnya ia telah memulai langkah dengan baik. Pilihannya dengan mengedepankan Nawa Cita, yang butir ketiganya menegaskan untuk membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, sebenarnya merupakan resep mujarab. Cara itu efektif untuk tak hanya meraih kemakmuran secara lebih merata ke masa depan yang dekat (immediate future) secara lebih cepat. Lebih jauh dari itu, membangun dari pinggiran sejatinya menjadi pengobat luka, penawar sekian banyak kekecewaan, setelah sekian lama daerah-daerah pinggiran itu terlupakan dan menjadi marjinal.

Dengan membangun daerah pinggiran, yang dalam makna luas tak hanya berarti kewilayahan, tetapi juga soal manusia yang terpinggirkan, maka secara langsung keseimbangan pembangunan tengah dilakukan. Pembangunan kemudian ditarik ke pinggir, agar daerah dan kawasan yang tadinya tak pernah disapa gerak pembangunan ekonomi itu, menjadi dinamis dan hidup. Sementara perkotaan, bukankah katalisasi sekian lama seharusnya telah bisa membuat kota-kota itu bergerak sendiri dengan motor tak lagi pemerintah, melainkan sektor swasta? Bila itu terjadi, wajar dan masuk akal kalau kita berharap pada saatnya akan terjadi keseimbangan infrastruktur di perdesaan, mengejar ketertinggalannya dari kota-kota.

Mungkin saat itu Jokowi melihat timpangnya pembangunan ekonomi antara perkotaan dan perdesaan, yang menganga kronis. Itu dapat dilihat dari struktur ekonomi Indonesia secara spasial, yang pada kuartal II 2015 didominasi kelompok provinsi di Jawa dan Sumatera. Kelompok provinsi di Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB), yakni 58,35 persen, diikuti Sumatera sebesar 22,31 persen, dan Kalimantan 8,22 persen. Sedangkan provinsi-provinsi di Sulawesi memberi kontribusi 5,89 persen dan Maluku-Papua 2,21 persen.

Barangkali atas dasar itu, pemerintahan Jokowi pada APBN 2016 menaikkan anggaran transfer ke daerah dan dana desa, menjadi sebesar Rp 770,2 triliun. Dana itu Rp 723,2 triliun untuk transfer ke daerah dan Rp 47 triliun untuk dana desa.

Sementara saat itu, untuk membuka akses ke daerah-daerah yang sebelumnya terisolasi, agar berkembang, sarana jalan pun dibuat. Cetak biru sembilan ruas jalan perbatasan Kalimantan- Malaysia yang akan membentang sepanjang 771,36 km dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur hingga Kalimantan Utara, kini siap dibangun. Sementara di perbatasan NTT-Timor Leste, terdapat enam ruas jalan dengan total panjang 171,56 km. Untuk Papua yang selama ini dipandang sebelah mata, ada 12 ruas jalan Trans Papua, yang jika tersambung semuanya akan mencapai 4.325 km.

Kesemua jalan-jalan yang tengah diubangun itu, berdasarkan progress report per Agustus lalu, total panjang jalan yang sudah tembus di perbatasan Kalimantan mencapai 441,7 km. Masih ada 329,66 km yang harus ditangani sampai tuntas, dan kesemua ruas jalan itu terhubung.

Saya belum melakukan riset seberapa banyak tujuan alias mimpi-mimpi itu tercapai. Apalagi ketika jalan yang sudah on the track itu justru harus diganggunya sendiri dengan memberlakukan UU Cipta Kerja yang kontroversial.

Namun, andai saja pemerintah konsisten dengan mimpi dan komitmen di awal mereka berkuasa, 2014 lalu, sebenarnya jalan mereka sudah tepat. Memang desalah yang harus menjadi perhatian dan fokus saat ini. Bukan sok ikut-ikutan teori “desa mengepung kota”-nya Mao Tse Tung. Tetapi memang membangun desa, pada dasarnya adalah membangun semesta.

Tengoklah para tokoh bangsa ini, sejak awal berdirinya. Nyaris semuanya datang dari desa dengan segala keterbatasan dan balutan kemiskinan di kehidupan mereka. Lihat Bung Karno, Bung Hatta, Pak SBY, bahkan Jokowi. Bung Karno lahir dan besar di Kampung Pandean, pinggiran Surabaya. Bung Hatta lahir di Kampung Aur, Bukittinggi. SBY di Pacitan, bukan kota besar. Benar, membangun desa adalah membangun keluarga. Membangun semesta. [  ]

*Praktisi komunikasi dan pemerhati perdesaan

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button