Gallery

Dari Mana Kita Tahu Anak Kecanduan Gawai?

Kecanduan gadget atau gawai memang bukan hal yang baik. Namun faktanya, banyak anak yang sudah mengalami ketergantungan dengan perangkat elektronik tersebut.

Psikolog anak dan keluarga Samanta Elsener mengatakan, orang tua perlu membangun koneksi atau hubungan yang baik dengan anak agar si buah hati tak kecanduan gawai.

Mungkin anda suka

Menurutnya, anak yang kecanduan gawai menandakan bahwa dia tidak memiliki koneksi yang baik dengan orang sekitar termasuk orang tua.

“Jadi, gawai itu pelarian anak-anak karena dia tidak mendapatkan koneksi. Sama orang tua enggak dapat, sama teman-temannya juga enggak dapat. Tapi dengan gawai, dia ada interaksi dengan game-nya, dengan tontonannya, yang membuat dia punya pertanyaan dan tertarik dengan sesuatu,” kata Samanta dalam sebuah acara virtual pada Rabu.

Ada berbagai cara yang dapat orang tua lakukan untuk membangun koneksi yang baik dengan anak, ujar Samanta. Misalnya, dengan membacakan buku-buku yang menarik dan dapat meningkatkan rasa ingin tahu serta membuat anak tergerak untuk mengamati lingkungan sekitar.

Jika anak sangat sulit untuk lepas dengan gawai, Samanta menyarankan untuk mengajak anak bermain gawai di beranda rumah. Kemudian, alihkan perhatiannya secara perlahan.

“Jadi bawa ke luar rumah dulu biar dia menikmati area di luar. Lama-lama kita alihkan, misalnya ‘eh, di sana ada burung, liat deh’. Jadi kita alihkan pelan-pelan supaya matanya enggak ke gawai terus,” ujar Samanta.

Setelah itu, lanjut Samanta, orang tua bisa mulai mengajak anak untuk bermain di sekitar rumah seperti bersepeda atau berjalan kaki. Kemudian, berikan anak tantangan yang bisa membuat dia memperhatikan lingkungan sekitar.

“Misalnya, nanti kalau ada rumah catnya warna merah, kita hitung, yuk, ada berapa. Jadi memberikan challenge supaya dia memperhatikan sekitarnya dia,” imbuh Samanta.

Kemudian, lanjutnya, barulah batasi penggunaan gawai setiap hari sesuai kategori usia anak dan mendiskusikan kegiatan yang bisa bersama-sama, serta aturan-aturan yang di dalamnya terdapat reward (hadiah) dan punishment (konsekuensi).

Namun, Samanta mengingatkan bahwa konsekuensi harus merupakan sesuatu yang membangun karakter anak, bukan menghukum. Menurut dia, hukuman justru akan membuat anak menjadi benci pada orang tuanya dan semakin menghilangkan koneksi dengan orang tuanya.

“Misal dia main gawai lebih dari waktu yang disepakati, dihukum lihat tembok satu jam. Itu tidak akan membuat anak jera. Tapi, konsekuensi jika main gawai lebih dari satu jam, berarti besok tidak ada waktu main gawai tapi baca bukunya lebih banyak,” ujar Samanta.

“Kalau anak sudah ada koneksinya dengan orang tua, kita ngomong apa pasti didengerin, kita enggak usah pakai teriak-teriak,” pungkasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Ibnu Naufal

Menulis untuk masa depan untuk aku, kamu dan kita.
Back to top button