Kanal

Dari Pamer Harta Pejabat ke Social Distrust: Sandyakala Ning Indonesia

Meski pahit dan saat ini mencoreng muka, sejatinya Presiden Jokowi bisa menangani persoalan ini dengan segera.  Bukankah menurut Bung Karno, figur idola seluruh negeri termasuk Jokowi, tugas pemimpin politik adalah “mengaktivir bangsa yang ia pimpin kepada perbuatan”? Itu berarti harus—mengutip Bung Karno–”mengaktivir lebih dahulu kepada will, yang dalam perikehidupan kebangsaan berarti mengaktivir collective will”–membangkitkan kemauan kolektif. Pemimpin haruslah mampu menyalakan spirit, menumbuhkan sikap pantang menyerah untuk mengatasi masalah.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Dari sejarah kita tahu, dua revolusi besar di dunia, Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis, sejatinya bermula dari masalah pajak. Di Prancis, sebagai contoh, negara terus memeras rakyat lewat pajak, sementara segelintir golongan—elit istana dan pejabat pemerintah–hidup penuh hura-hura. Saat revolusi meletus dan peradilan rakyat digelar, tidak hanya kepala terpancung Raja Louis XVI dan Ratu Marie Antoinette sang “Madame Deficit” yang dipertontonkan ke hadapan rakyat yang antusias bersorak, tetapi juga kepala buntung sekian banyak petugas pajak.

“Lima atau enam ratus kepala terpenggal akan menjamin ketenangan, kebebasan, dan kebahagiaan kita! Matilah kalian para financier!” teriak Jean-Paul Marat, jurnalis cum aktivis di depan guillotine yang menggantung di atas leher-leher terbuka para tawanan rakyat itu. Yang ia maksud adalah petugas pajak, yang umumnya dibenci warga, bukan kue-kue manis khas Prancis dengan nama sama.

Kita tahu, ribuan kepala rakyat Prancis tak serta-merta panas dan meledak dalam tindakan nyata aksi amuk massa. Semua punya awal, dan itu adalah ketidakpercayaan yang kian merata dirasakan warga (public distrust) saat itu. Mereka merasa hidup begitu sulit. Lalu, perasaan rakyat kian tercekik saat di kehidupan sehari-hari perilaku orang-orang kaya seolah mengejek mereka.

Apa yang menjadi benih-benih ketidakpercayaan, yang di Prancis bergulung menjadi gelombang revolusi itu, telah lama kita tonton di negeri ini. Bukan hanya hari-hari ini kita terpana dengan kekayaan Rafael Alun Tisambodo yang masha Allah banyaknya. Setidaknya, berdasarkan tulisan TEMPO.CO, Selasa, 7 Maret lalu, bekas orang Pajak itu telah melakukan transaksi janggal senilai Rp 500 miliar. Ada 40 rekening yang terafiliasi dengan rekening milik pribadi Alun dan keluarganya, yang kemudian dibekukan.

Dari dekade lalu kita sama-sama telah mengusap dada, menahan sesak yang alangkah nyerinya melihat fakta dan kelakuan Gayus Tambunan, petugas pajak juga.

Berganti waktu, borok di institusi pajak tak juga diobati. Paling tidak, kita masih dengan gampang menemukan Angin Prayitno Aji, yang saat itu direktur Pemeriksaan dan Penagihan pada Ditjen Pajak. Ia didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang totalnya mencapai Rp44 miliar. Saat itu asetnya yang disita KPK mencapai nilai Rp 57 miliar. Ada pula Wawan Ridwan, pejabat Ditjen pajak lainnya yang pada November 2021 lalu ditangkap karena penyuapan dari dua wajib pajak kelas kakap, yang untuk kasus itu saja mencapai Rp 4,1 miliar.

Sementara publik termehek-mehek menyaksikan para petugas lancung yang masih pasti untung meski dipenjara bertahun-tahun, dada warga kian sesak  melihat keluarga aparat negara bebas lepas melakukan flexing. Oh ya, ini istilah yang terdengar enak untuk perilaku norak: pamer harta.

Beberapa yang kemudian viral di dunia maya tak datang hanya dari keluarga aparat Pajak. Juga dari Bea dan Cukai, institusi saudara di Kementerian Keuangan. Di barisan ini tercatat setidaknya ada bekas Kepala Kantor Bea Cukai Jogja, Eko Darmanto; Kepala Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono; serta Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur, Sudarman Harjasaputra. Sudarman menjadi sorotan netizen karena gaya hidup mewah dirinya dan keluarga di media sosial. Yang luas beredar dari satu ke lain WAG, misalnya, aksi pamer istrinya yang masih terlihat belia, berdiri memamerkan tas Hermes yang menurut netizen seharga Rp 200-an juta, berlatar belakang pemandangan Menara Eiffel, Paris.

Tunas-tunas public distrust

Dua tahun lalu, Menko Polhukam Mahfud MD pernah mengangkat wacana jatuh dan hilangnya kerajaan-kerajaan besar Nusantara. “Hancurnya kerajaan-kerajaan di Indonesia yang dulu pernah berjaya, sebutlah saja Majapahit, Mataram, Demak, Sriwijaya dan sebagainya, itu hancur karena disorientasi, distrust di tengah-tengah masyarakat, disobedience, dan juga disintegrasi,”ujar Mahfud saat itu.

Ia mungkin tak bermaksud mengurut secara kronologis, tapi biasanya alur itulah yang terjadi. Setelah distrust merebak, biasanya akan ada pembangkangan publik (public disobedience), lalu gampang ditebak; semua cara tak lagi mampu merekatkan semua pihak yang disatukan gagasan dan ide itu. Negara pun pecah, atau malah hilang.

Tentang distrust, salah bila Anda berpikir hal itu baru menjelang datang di hari-hari ke depan. Sejak 2010 lalu sosiolog Universitas Indonesia jebolan Brown University, Rhode Island, AS, itu melihat ada gejala ketidakpercayaan public yang kuat terhadap pemerintah.

“Indonesia mengalami apa yang disebut public distrust. Masyarakat sudah banyak yang tidak mempercayai lagi ucapan para pejabat, termasuk anggota DPR RI,” ujar Imam, pada saat rapat dengar pendapat dengan DPR RI, Agustus 2010. Ada banyak sebab yang terangkat waktu itu, termasuk ucapan dan sikap para pejabat yang “jauh panggang dari api”.

Di masa pemerintahan Jokowi, sinyalemen tersebut diwanti-wanti kembali oleh Ketua Umum PAN yang kini juga Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan. Pada peringatan 20 tahun reformasi, Mei 2018, Zulhas menegaskan kekhawatirannya itu. “Ada social distrust, (kita seolah) bermusuhan. Ini apa-apaan?” kata Zulhas saat itu. Waktu itu fokus Zulhas adalah lebarnya jurang kesenjangan sosial yang menganga di Indonesia, bahkan setekah 20 tahun reformasi berjalan.

Bagi mereka yang sensitif, sinyal itu bergetar semakin kuat. Oktober 2022 lalu Litbang Kompas merilis hasil jajak pendapat mereka. Hasilnya, terjadi penurunan kepuasan publik atas kinerja pemerintahan Jokowi-Ma`ruf Amin, terutama di bidang penegakan hukum. Survei yang berlangsung 24 September hingga 7 Oktober 2022 itu menunjukkan angka kepuasan publik terhadap kinerja di bidang penegakan hukum hanya berada di angka 51,5 persen.”Capaian ini turun enam persen dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya, Juni 2022,” ujar peneliti Litbang Kompas, Rangga Eka Sakti. Yang harus jadi catatan, hasil itu pun menjadi yang terburuk sejak survei Litbang Kompas Oktober 2019.

“Hampir tidak ada yang berhasil memuaskan mayoritas publik. Singkatnya dari lima aspek yang diukur, hanya satu yang mendapatkan skor kepuasan di atas 50 persen,” ujar Rangga. Lima aspek penegakan hukum itu adalah penuntasan kasus hukum, menjamin perlakuan yang sama kepada semua warga, pemberantasan KKN, penuntasan kasus kekerasan oleh aparat atau HAM, serta pemberantasan suap dan jual beli kasus hukum.

Lebih dekat lagi, seiring merebaknya kasus Alun dan geng pajaknya, serta kelakuan flexing keluarga besar Bea Cukai, di dunia maya yang—katanya–lebih bebas, kekesalan warga jelas terlihat. Mulai dari meme-meme sarkatis, misalnya, imbauan untuk membayar pajak karena “masih banyak aparat pajak yang belum punya Rubicon”, hingga sekian banyak ancaman agar public mangkir dari bayar pajak.

Di jagat maya, sejumlah warganet membuat seruan untuk tak lagi melaporkan pajak tahunan. Oh ya, ancaman itu termasuk dari mantan Ketua Umum PB NU, KH Said Aqil Siradj. Awal bulan ini KH Said Aqil memang menyerukan agar warga NU tak usah bayar pajak jika hal itu diselewengkan.

Pada titik ini, jelas pemerintah tergolong bebal bila tidak segera merespons kasus-kasus ini dengan bijak dan tepat. Public distrust jelas harus segera digerus. Ia adalah kanker berjalannya regulasi dan pembangunan negeri. Tak ada pemerintahan mana pun yang bisa bekerja optimal ketika berhadapan dengan ketidakpercayaan publik. Karena itu, respons paling tepat yang seharusnya dilakukan pemerintah dengan segera adalah reaksi cepat dari para pemimpin dan aparatur negara, agar transparansi, kejujuran, keadilan, dan supremasi hukum yang benar-benar ditegakkan.

Jangan lagi terlalu banyak berapologi. Jika benar bahwa PPATK ternyata telah mengendus transaksi tidak wajar Rafael dan mengirimkannya ke pihak terkait sejak 2012 lalu ke KPK, Kejagung dan Inspektorat Jenderal Kemenkeu, bagaimana mungkin warga percaya bahwa political will pemerintah untuk memberantas korupsi itu benar-benar nyata?

Meski pahit dan saat ini mencoreng muka, sejatinya Presiden Jokowi bisa menangani persoalan ini dengan segera.  Bukankah menurut Bung Karno, figur idola seluruh negeri termasuk Jokowi, tugas pemimpin politik adalah “mengaktivir bangsa yang ia pimpin kepada perbuatan”? Itu berarti harus—mengutip Bung Karno–”mengaktivir lebih dahulu kepada will, yang dalam perikehidupan kebangsaan berarti mengaktivir collective will”–membangkitkan kemauan kolektif. Pemimpin haruslah mampu menyalakan spirit, menumbuhkan sikap pantang menyerah untuk mengatasi masalah. Tanpa ada spirit ini, di saat ini, mustahil Indonesia bisa bertahan, berkembang dan menjadi bangsa besar. [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button