Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi penurunan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) pada 2024 ke posisi 3,85. Skor itu menunjukkan bahwa masyarakat makin permisif terhadap perilaku korupsi.
“Penurunan IPAK tentunya merupakan indikasi bahwa masyarakat lebih permisif terhadap perilaku korupsi,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, dalam konferensi pers yang dipantau dari Jakarta, Senin (15/7/2024).
Sebagai perbandingan, skor pada 2024 itu lebih rendah dari 2023 yakni 3,92. Sedangkan pada 2022 sejumlah 3,93; pada 2021 sejumlah 3,88; dan 2020 sejumlah 3,84.
Amalia menjelaskan, IPAK merupakan ukuran yang mencerminkan perilaku antikorupsi di masyarakat. Ukurannya yakni dengan skala 0 sampai 5.
“Semakin tinggi nilai IPAK maka semakin tinggi budaya anti korupsi di masyarakat. Sebaliknya semakin rendah nilai IPAK maka masyarakat semakin permisif terhadap perilaku korupsi,” jelas dia.
Data per 2024 tersebut dihimpun berdasarkan sampel sebanyak 11.000 rumah tangga. Pendataan dilakukan dengan wawancara tatap muka pada 22 April hingga 22 Mei 2024.
Amalia menambahkan bahwa IPAK menggambarkan perilaku dan pengalaman seseorang terkait petty corruption atau korupsi skala kecil, bukan grand corruption. Grand corruption terkait penyalahgunaan kekuatan tingkat tinggi yang menguntungkan segelintir orang dengan mengorbankan banyak orang.
“Bahwa dimensi persepsi ini mengukur berbagai perilaku dan akar korupsi dari pendapat atau penilaian masyarakat pada tiga cakupan yaitu lingkup keluarga dalam artian perilaku anggota keluarga, kemudian yang kedua adalah lingkup komunitas tempat tinggal dan lingkup jejaring RT, RW, desa, dan kelurahan, serta lingkup publik seperti penerimaan pegawai, penerimaan sekolah atau universitas, pemilihan umum dan lain-lain,” jelas Amalia.
IPAK merupakan salah satu indikator di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pada 2024 IPAK Indonesia sejatinya ditargetkan pada skor 4,14.