Ketua DPP Partai Demokrat, Herman Khaeron meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025. Karena, lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan rakyat.
“Tapi kalau kemudian kenaikan PPN 12 persen ini, membebani masyarakat kecil, ya harus dipertimbangkan untuk dikaji ulang, gitu ya. Dikaji ulang. Dan ini pilihan bagi pemerintah,” kata Herman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2024).
Herman menjelaskan, pemerintah masih memiliki waktu kurang lebih tiga minggu untuk mengkaji kenaikan PPN secara lebih komprehensif sebelum mereka resmi memberlakukan kebijakan tersebut. Ia meyakini pemerintahan yang dipimpin Presiden RI Prabowo Subianto ini bisa pro kepada rakyat.
“Saya yakin Pak Prabowo itu memiliki jiwa sosialnya tinggi. Beliau pasti punya pertimbangan-pertimbangan khusus gitu ya,” ujarnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini menyatakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga bisa menjelaskan secara terperinci sektor apa saja yang akan dikenakan tarif PPN 12 persen per 1 Januari ini. Pasalnya, pemerintah mengeklaim hanya barang mewah ditetapkan terkena dampak ini.
“Dan bagi Menteri Keuangan sebagai leading sectornya tentu harus menjelaskan secara gamblang, secara jelas kepada publik,” tuturnya.
Sebelumnya, pakar ekosistem tembakau, Hananto Wibisono mengkhawatirkan, penrapan PPN 12 persen pada tahun depan, justru mengungkit Penutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di industri hasil tembakau (IHT) yang saat ini menyerap 6 juta pekerja.
“Kenaikan PPN hingga 12 persen pasti akan berdampak pada biaya produksi. Peningkatan biaya sangat berpotensi besar memicu kenaikan harga produk akhir, sebab PPN yang lebih tinggi akan meningkatkan biaya bahan baku yang dibeli oleh produsen,” kata Hananto.
Selain bahan baku, kata mantan Sekjen Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) itu, seluruh proses produksi juga akan terkena dampak dari kenaikan PPN 12 persen. Termasuk biaya operasional seperti energi, transportasi, dan lainnya.
Dampak lainnya, menurut Hananto, kenaikan PPN menjadi 12 persen bila jadi diberlakukan pada 2025, akan diikuti dengan kenaikan tarif PPN atas penyerahan rokok dari 9,9 persen menjadi 10,7 persen.
“Jika dibiarkan, orang pun berpotensi beralih menggunakan rokok ilegal yang semakin mengancam situasi buruh, petani, serta semua yang terlibat dalam IHT. Tentu dengan adanya bayang-bayang perpindahan konsumsi yang tergambar dari penurunan daya beli terhadap produk legal,” papar Hananto.
Saat ini, pendapatan negara dari cukai IHT mencapai Rp213 triliun dengan rantai ekonomi yang melibatkan lebih dari enam juta orang. Jika tidak berhati-hati, dampak negatifnya dapat menyebabkan sendi-sendi perekonomian tertatih-tatih untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 8 persen.
“Produsen berpotensi menaikkan harga jual produknya, meskipun ini berisiko terhadap serapan pasar. Jika harga jual naik, permintaan berpotensi menurun yang berpengaruh pada penjualan dan laba perusahaan. Jika penurunan permintaan dan keuntungan signifikan, produsen terpaksa mengambil langkah ekstrem seperti PHK untuk mengurangi biaya operasional,” ujarnya.