Market

DFW Tuntut Akses yang Adil soal Penggunaan Alat Tangkap bagi Nelayan

Destructive Fishing Watch (DFW) menyuarakan tuntutan terkait kesempatan akses yang adil dalam regulasi tentang penggunaan alat tangkap yang boleh bagi nelayan. Baik nelayan dengan kapal kecil maupun bobot besar harus mendapatkan akses yang sama.

Demikian Destructive Fishing Watch (DFW) menyuarakan permintaanya. “Sebaiknya pemerintah memberikan akses yang sama. Artinya, kalau mau bolehkan (alat tangkap), berikan kesempatan yang sama juga pada nelayan kecil. Dan jika melarang maka secara total harus larang,” kata Koordinator Nasional DFW Indonesia, Moh Abdi Suhufan kepada Antara di Jakarta, Minggu (6/2/2022).

Menurut Abdi Suhufan, saat ini perbaikan tata kelola perikanan yang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) janjikan belum sesuai harapan. Antara lain, terlihat dari pengaturan penangkapan udang yang memberi prioritas pada kapal ukuran besar dan meminggirkan kapal kecil.

Hal tersebut, masih menurut dia, menimbulkan praktik ketidakadilan. Sebab, alokasi izin hanya bagi kapal ikan ukuran besar dan zona tangkap yang luas termasuk dalam zona tangkap nelayan kecil dan tradisional.

Abdi menyebut hal itu terkait Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 18/2021. Peraturan ini berisi tentang Penempatan Alat Penangkap Ikan dan Alat bantu Penangkapan Ikan di WPPNRI dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan. Inilah yang mengandung sejumlah aturan yang merugikan nelayan tradisional penangkap udang.

“Pasal 26 Permen 18/2021 menyebutkan jaring hela udang berkantong hanya boleh pada kapal ukuran di atas 30 gross tonnage (GT),” kata Abdi.

Pasal ini, lanjutnya, telah menutup kesempatan kapal di bawah 30GT untuk melakukan penangkapan udang dengan jenis alat tangkap jaring hela berkantong.

Ia berpendapat bahwa jaring hela berkantong oleh nelayan Indonesia timur identik dengan jenis alat tangkap trawl mini. Sebelum pelarangan trawl mini pada era Menteri Susi, terdapat 50 kapal tradisional. Ukurannya, di bawah bobot 5 GT yang menggunakan alat tangkap ini di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku.

Konflik Zona Penangkapan Ikan

Ia mencemaskan bahwa aturan itu berpotensi mengakibatkan konflik zona penangkapan ikan. Terutama, di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718 atau Laut Arafura antara kapal besar dan nelayan tradisional.

“Menteri perlu mengevaluasi dan merevisi aturan ini sebelum terlaksana dan menimbulkan konflik,” kata Abdi.

Koordinator Nasional DFW Indonesia itu mengemukakan, untuk sementara yang jadi sorotan pihaknya adalah udang. Sebab, komoditas ini menjadi keresahan nelayan di Kepulauan Aru yg akan menjadi lokasi pelaksanaan penangkapan terukur.

Mengenai budi daya tambak udang di daerah itu, ia mengemukakan bahwa ada budi daya tambak udang oleh pihak swasta. Tetapi, ini sifatnya masih terbatas. Sedangkan yang saat ini menjadi incaran di kawasan perairan WPP 718 adalah udang.

Terkait dengan komoditas udang, sebelumnya, Dirjen Perikanan Budidaya Tb Haeru Rahayu mengemukakan bahwa untuk mencapai target produksi udang sebesar 2 juta ton pada 2024, pihaknya telah melakukan tiga langkah, yaitu evaluasi, revitalisasi, dan modeling.

Dirjen yang akrab disapa Tebe, memaparkan langkah-langkah tersebut adalah dengan mengevaluasi lahan budi daya yang ada di seluruh Indonesia, yang sebesar 300.501 hektare dan terdiri atas lahan tambak tradisional, intensif, dan semi intensif.

Selain itu, ujar dia, KKP juga menyiapkan luas lahan modeling atau tambak percontohan yaitu sebesar 14.000 hektare yang terdiri lahan tambak tradisional menjadi tambak intensif 11.000 hektare dan pembukaan lahan baru sebesar 3.000 hektare.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button