Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian angkat bicara soal hasil sidang etik yang digelar oleh Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (DGB UI) menyangkut polemik gelar doktor kilat Ketum Partai Golkar Bahlil Lahadalia dan dugaan kecurangan dalam menyusun disertasi.
Dia mendesak pihak kampus untuk segera menyampaikan sikap resmi agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat. “UI sebagai institusi perlu segera mengumumkan sikap resminya. Bila dibiarkan berlarut-larut malah bisa merugikan UI sendiri,” kata dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (1/3/2025).
Ditekankan, integritas di dunia akademik perlu dijaga lantaran menjadi pondasi penting dalam dunia pendidikan. Segala keputusan harus didasarkan pada aturan dan standar yang berlaku. “Kami mendesak UI untuk mengambil keputusan,” ucap dia.
Diketahui, DGB UI telah melakukan sidang etik, kelanjutan dari langkah membekukan gelar doktor Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Hasilnya, ditemukan empat pelanggaran, dua di antaranya, konflik kepentingan dan perlakuan khusus dalam proses akademik.
Dalam dokumen risalah rapat pleno DGB UI tertanggal 10 Januari 2025, tertulis bahwa DGB UI telah melalukan investigasi mendalam dengan penuh kehati-hatian. DGB UI juga mewawancarai berbagai pihak, termasuk pelapor, terlapor, saksi, serta pejabat akademik terkait. Hasilnya ditemukan empat pelanggaran oleh Bahlil.
Pertama, ketidakjujuran dalam pengambilan data. Disebutkan data penelitian disertasi diperoleh tanpa izin narasumber dan tidak transparan dalam penggunaannya. Kedua, pelanggaran standar akademik, Bahlil diterima dan lulus dalam waktu singkat tanpa memenuhi syarat akademik yang ditetapkan.
Ketiga, perlakuan khusus dalam proses akademik. Disebut Bahlil mendapat keistimewaan mulai dari
pembimbingan hingga kelulusan, termasuk perubahan penguji secara mendadak. Dan terakhir, ada konflik kepentingan. Dijelaskan promotor dan kopromotor memiliki keterkaitan profesional dengan kebijakan yang diatur Bahlil saat menjabat sebagai pejabat negara.
Atas temuan ini, DGB UI memberikan sanksi pembatalan disertasi dan wajib menulis ulang dengan topik baru sesuai standar akademik UI. Turut juga ada teguran keras, larangan mengajar hingga penundaan kenaikan pangkat bagi promotor, kopromotor dan pimpinan program studi. Di poin implikasi dan langkah lanjutan, surat itu menuliskan bahwa kasus gelar doktor Bahlil telah mencoreng reputasi kampus. Diharapkan Rektor UI menindaklanjuti rekomendasi sanksi.
Dorongan Pecat Bahlil
Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (UNNES) Edi Subkhan menyebut hasil sidang etik ini merupakan contoh buruk seorang politisi dan pejabat publik.
“Ini tentu jadi preseden buruk bagi seorang penyelenggara negara, apalagi seorang menteri yang sekarang menjabat. Bukan satu hal yang bisa dibanggakan, bahkan jadi contoh buruk bagi para praktisi, politisi,” kata Edi saat dihubungi Inilah.com, Rabu (26/2/2025).
Edi menilai temuan DGB UI tersebut juga menunjukan Ketua Umum Partai Golkar memang memperoleh perlakuan istimewa, sebagaimana kecurigaan publik selama ini. Asal tahu saja, kasus gelar doktor Bahlil Lahadalia bermula dari dugaan plagiarisme, penggunaan jurnal predator, dan durasi studi yang dinilai tidak wajar.
Edi menambahkan, hal ini juga memengaruhi ke siapapun yang hendak studi lanjut di perguruan tinggi. “Karena telah menggunakan posisi yang ia miliki untuk memperlancar studinya,” ujarnya menuturkan.
Menurutnya, bukan tidak mungkin Bahlil akan dicopot dari jabatannya, jika dianggap Presiden Prabowo Subianto telah mencoreng kabinetnya, imbas hasil sidang etik Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (DGB UI) yang beri sanksi tulis ulang disertasi karena terbukti curang.
“Menurut saya, kalau Pak Prabowo merasa bahwa hal tersebut mencoreng citra kabinetnya dan mengganggu agenda-agenda politik beliau, ya bisa jadi (reshuffle),” kata Edi.
Edi pun mengungkit mantan Menteri Pendidikan Sains dan Teknologi Satryo Soemantri yang dicopot karena bikin heboh usai didemo karyawannya. Menurutnya, Bahlil bisa saja bernasib serupa karena hasil sidang etik DGB UI tentu bisa jalan agenda politik pemerintahan Prabowo di lima tahun ke depan.
“Kabinet sekarang bebannya besar, bukan cuma soal efisiensi tapi juga kekonyolan-kekonyolan akibat dari komunikasi publik yang buruk, dan masih ditambah oleh preseden buruk hal-hal yang mestinya bisa dicapai secara profesional tapi justru tidak,” jelas Edi.