Kanal

Di Beranda Istana Alhambra (33 – Menyambut Kehadiran Anak Kedua)

Hari itu hari Senin, biasanya Aku pergi ke kampus untuk berlama-lama di perpustakaan untuk menyelesaikan Tesisku yang sudah hampir rampung. Disamping banyak teman yang bisa diajak diskusi, melalui Elibrary di kampus Aku juga bisa mengakses berbagai jurnal dari berbagai negara, atau ebook terbaru yang relevan dengan judul Tesisku.

Pada saat-saat tertentu Aku manfaatkan waktu yang ada untuk berdiskusi dengan dosen pembimbing. Dosen pembimbing di sini mudah ditemui dan enak diajak diskusi, karena perhatian dan waktunya seratus persen untuk kampus.

Ipah istriku tidak pernah mengeluh walau perutnya nampak semakin membesar. Waktu mengandung Amir, ngidamnya minta nasi kuning, sehingga membuatku mencarinya keliling, karena mintanya malam hari. Kali ini tidak ada permintaan khusus menjelang kehamilannya, Aku tidak tahu apakah dia tidak ngidam, atau ngidamnya hal-hal sederhana yang bisa diatasinya sendiri.

Begitu juga saat melahirkan anak pertamanya, semuanya terasa mudah dan ia tidak mengeluh sama sekali. Karena itu, ketika ia bilang kayaknya sudah bukaan, Aku tenang saja. Ia sudah mempersiapkan perlengkapan melahirkan, termasuk baju-baju untuk bayi laki-laki, karena melalui USG Kami sudah tahu bahwa anak yang akan lahir adalah laki-laki. Bagus juga pikirku sederhana, nanti Amir punya teman bermain.

Dengan menggunakan ponsel Aku memesan taxi secara online. Tidak lebih dari lima menit taxi sudah berada di depan pintu apartemen tempat tinggal Kami. Sopir taxinya ternyata perempuan. Mengetahui istriku akan melahirkan, ia turun secara khusus dan ikut memandu secara hati-hati istriku memasuki kursi belakang taxinya.

Di Spanyol orang yang akan melahirkan sangat dihormati, karena banyak wanita di sini tidak mau menikah, sementara yang menikah  tidak jarang bersepakat untuk tidak mempunya anak. Tidak sedikit pasangan yang mengadopsi anak, atau memilih hewan seperti anjing atau kucing sebagai pelengkap pasangan suami istri, sebagai jalan alternatif.

Karena itu, pasangan yang akan memiliki anak sangat dimanja oleh masyarakat, juga oleh pemerintah. Wanita yang melahirkan bukan saja mendapatkan cuti dari pekerjaannya dalam rentang waktu yang panjang sampai si anak bisa dipisah, tanpa sedikitpun gaji dipotong. Lebih dari itu, suaminya juga mendapatkan hak yang sama, walau cutinya lebih pendek. Alasannya agar sang suami bisa menemani dan membantu istrinya. Karena itu, seringkali suami lebih banyak mengurus bayi dibanding istrinya. Di jalan-jalan biasa ayah menggendong bayi sementara si ibu berjalan santai di depannya.

Sampai di rumah sakit Ipah langsung dibawa ke ruangan khusus untuk melahirkan, sementara Aku harus mengurus administrasinya. Dengan Asuransi Kesehatan yang Aku dan Ipah miliki, yang dibuat sejak mendaftar di universitas, sebagai bagian persyaratan yang harus dipenuhi, Kami mendapatkan pelayanan sangat baik secara gratis.

Aku ditawari ikut masuk ke ruangan untuk mendampingi istri atau menunggunya di luar. Aku memutuskan untuk menunggunya di luar, karena tidak tega melihat Istriku mengerang dengan peluh yang membasahi sekujur tubuhnya saat melepas anak dari rahimnya.

Prosesnya berjalan sangat lancar, kurang dari dua jam anak Kami yang kedua sudah terdengar tangisnya. Aku lalu dipanggil masuk sang dokter perempuan yang menangani kelahirannya, ia mengucapkan selamat sembari menyodorkan bayi mungil ke gendonganku. Walaupun sudah dibersihkan, akan tetapi bau anyir masih terasa.

Aku lalu mengazankan di telinga Kanannya dan mengikamahkan di telinga Kirinya. Aku oleskan di bibirnya yang mungil dengan madi yang sudah Aku siapkan dari rumah. Bayi itu lalu Aku serahkan kembali ke Suster untuk dimandikan. Aku kemudian mencium kening Ipah sebagai bentuk apresiasi sekaligus terimakasih, karena telah memberiku dua anak sebagai hadiah, membuatku menjadi laki-laki yang sempurna.

Aku meminta ijin untuk ke luar ruangan, karena merasakan bau anyir bercampur bau obat yang sangat tajam. Saat membuka pintu, ternyata Amir sudah berada di ruang tunggu diantar Iqbal dan istrinya yang biasa mengurusnya saat Aku dan Ipah harus ke luar rumah. Bagi Amir, Iqbal dan Istrinya sudah seperti orang tua yang kedua. Beberapa teman lain juga nampak ikut menjenguk, sehingga suasana jadi ramai.

I: “Boleh lihat adiknya Amir ?”, tanya Iqbal.

A: “Masih dimandikan, sementara Ibunya sedang diproses untuk dipindahkan dari kamar operasi. Nanti kalau sudah dapat kamar akan diberitahu”, jawabku menjelaskan.

I: “Diberi nama siapa ?”, tanya Iqbal sambil kembali ke tempat duduknya semula diikuti yang lainnya.

A: “Abdurrahman Addakhil”, jawabku mantap.

I: “Kenapa tidak Tariq bin Ziyad ?”, katanya dengan nada keberatan atas nama yang kupilih.

A: “Emangnya kenapa ?”, tanyaku heran.

I: “Itu kan namanya Gus Dur, mosok anak aktivis Muhammadiyah diberi nama tokoh NU!”.

A: “Biar kalau besar nanti, anakku menjadi jembatan antara NU-Muhammadiyah supaya semakin akrab”, jawabku sekenanya.

A: “Selain itu, Aku pikir nama Tariq sudah terlalu banyak di Indonesia. Ditambah lagi, bagiku Abdurrahman lebih hebat dari Tariq. Jika Tariq hanya seorang panglima perang, maka Abdurrahman disamping panglima, ia juga negarawan yang berhasil membangun peradaban Islam di Andalusia”, responku berargumen.

M: “Bagaimana pelayanan rumah sakit di sini ?”, tanya Maimunah istri Iqbal.

A: “Pelayanannya bagus, rumah sakitnya bersih, suster dan dokternya ramah, peralatannya modern, dan yang paling penting semuanya gratis..tis…tis”, kataku sambil tertawa.

M: “Bagaimana makanannya ?”.

A: “Aku pilih vegetarian”, jawabku, karena Aku tahu arah pertanyaannya mengingat di Spanyol makanan halal belum sampai masuk ke rumah sakit.

F: “Tuh dengar ! Enak melahirkan disini. Makanya cepetan kawin, bujang kok dipelihara!”, kata Furqon sambil mengarahkan pandangannya kepada Anas mahasiswa hukum yang masih membujang.

A: “Daripada Ente punya istri dipingit di Jakarta”, balas Anas menyerang balik Furqon yang istrinya ditinggal karena bekerja di sebuah perusahan.

F: “Lu kalau mau enak lagi, cari bule Spanyol. Mumpung di sini!”, balas Furqon nggak mau kalah.

L: “Setuju…….!”, respon sejumlah teman yang hadir memanfaatkan situasi untuk menggoda Anas  yang selalu bertutur kata  halus dan berpenampilan santun.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Dr. Muhammad Najib

Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO. Penulis Buku "Mengapa Umat Islam Tertinggal?" info pemesanan buku
Back to top button