Kanal

Di Beranda Istana Alhambra (35 Mengenalkan Indonesia)

Teman-teman di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ingin membuat seminar tentang Indonesia, sekaligus acara ini dimaksudkan untuk pelepasan atau perpisahan denganku, karena mereka sudah mendengar Aku akan pulang dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Tentu saja inisiatif ini sangat menggembirakanku, selain Aku lihat usulan ini sebagai bentuk apresiasi, juga Aku lihat sebagai kesempatan untuk mengenalkan Indonesia.

Seminar di kampus-kampus Spanyol tidak seperti di Indonesia, yang perlu panitia besar, pesertanya bisa ratusan, dibuka atau dihadiri oleh pejabat, dan harus ada konsumsi, bahkan tidak jarang diikuti makan siang atau makan malam.

Di sini seminar khususnya yang diselenggarakan di kampus, biasanya hanya dihadiri puluhan orang dengan konsumsi satu potong kue dan sebotol minuman, tidak ada panitia khusus, dan tempatnyapun terkadang hanya menggunakan ruang kuliah biasa.

Sebenarnya nama Indonesia khususnya Bali sudah sangat dikenal di Spanyol, akan tetapi di mata orang Spanyol, Indonesia hanya dikenal sebagai negara yang memiliki pemandangan alam indah, warganya yang ramah, dan penduduk Muslim terbesar di dunia. Bagaimana sejarahnya dan bagaimana sistem politik dan pemerintahannya tidak banyak yang tahu.

Karena itu, Aku berfikir spontan bagaimana memanfaatkan kesempatan ini untuk mengenalkan Indonesia, agar mereka lebih faham dengan harapan bisa meningkatkan hubungan dua negara, baik dalam masalah perdagangan, investasi, maupun turisme yang menjadi agenda mutakhir pemerintah kita saat ini.

Aku memulai presentasi dengan menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dan bisa juga disebut sebagai negara maritim. Secara geografis wilayah Indonesia menjadi tempat lalu-lalangnya kapal-kapal yang bergerak dari Eropa, Afrika, Timur-Tengah, dan India di Barat menuju China, Jepang, dan Korea di Timur, juga Australia dan New Zealand menuju negara-negara Asia Timur. Perlu diingat di masa lalu sebelum adanya transportasi udara, kapal laut menjadi sarana satu-satunya untuk transportasi orang dan barang antar benua.

Karena itu, sejak lama warganya sudah berinteraksi dengan banyak bangsa dan banyak agama besar di dunia. Kota-kotanya khususnya yang memiliki pelabuhan, tumbuh dan berkembang menjadi kota-kota kosmopolitan, yang akrab dengan berbagai budaya dan tradisi yang berasal dari bangsa-bangsa lain yang berbeda-beda, khususnya Eropa, Timur-Tengah, India, dan China. Semua ini membentuk karakter bangsa yang ramah, moderat, dan toleran.

Masuknya Islam ke Indonesia lewat jalur perdagangan bukan perang atau politik. Dunia ekonomi khususnya perdagangan memerlukan sikap yang luwes dan terbuka. Karena itu, proses Islamisasi di Indonesia berlangsung secara damai. Kerukunan dan kebersamaan menjelma menjadi bagian dari ke-Indonesiaan.

Di era modern, Indonesia menganut sistem demokrasi dan menghormati HAM. Bangunan politik Indonesia ditopang oleh dua pilar besar, yaitu kelompok Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Religius. Kini penduduk Indonesia 87% beragama Islam. Dengan demikian, dapat dikatakan kelompok politik Islam dapat dibagi dua, walaupun keduanya Nasionalis, akan tetapi sebagian cendrung pada Sekularisme dan sebagaian lagi pada Islamisme.

Kelompok Sekuler tidak ingin masalah Agama masuk pada pemerintahan, dengan kata lain negara tidak melibatkan diri pada masalah agama, atau agama menjadi urusan pribadi penganutnya. Sedangkan kelompok kedua bersikap sebaliknya. Karena itu, sejak dideklarasikannya pada 17 Agustus 1945, wujud negara Republik Indonesia disepakati dan terus dipertahankan sampai saat ini, sebagai sebuah kompromi dari dua kelompok ini.

Secara simbolik, sejak itu Presiden dan Wakil Presiden selalu dijabat oleh dua kelompok ini. Jika presidennya mewakili kelompok pertama, maka wakil presidennya mewakili kelompok kedua. Walaupun mengamalkan demokrasi, akan tetapi demokrasi Indonesia tidak rigit atau kaku seperti di banyak negara Barat.

Karena luwesnya demokrasi di Indonesia, bukan saja Indonesia tidak mengenal lembaga oposisi, bahkan kini yang menang dalam pemilu menjadi Presiden, sedangkan yang kalah menjadi menteri. Yang menang memimpin, sedangkan yang kalah mendukung. Dalam khasanah demokrasi Barat dikenal dengan istilah Kabinet Persatuan. Bagi bangsa Indonesia, kebersamaan, hidup rukun, dan harmoni sangat penting.

Sangat mungkin nilai-nilai Islam secara substantial ikut mewarnai, mengingat prinsip “Syura” sejatinya mengajarkan nilai-nilai seperti itu. Kata “Musyawarah” sebagai nomenklatur yang banyak mewarnai UUD 1945, termasuk Pancasila sebagai lima prinsip nilai yang menjadi pegangan, berasal dari Bahasa Arab “Syura”. Dalam Syura tidak dikenal adanya oposisi, dan musyawarah diutamakan ketimbang voting. Karena itu, walaupun belakangan istilah “demokrasi” mendominasi narasi politik kontemporer di Indonesia, akan tetapi peraktiknya tetap saja “Syura”.

Saat sesi tanya-jawab dibuka, seorang mahasiswi mengacungkan tangan;

X: “Apa mungkin demokrasi dikembangkan tanpa oposisi?”.

A: “Kalau merujuk literatur-literatur ilmu politik yang ditulis berdasarkan pengalaman negara-negara Barat, memang lazimnya ada oposisi. Akan tetapi, jika merujuk pada pengalaman negara-negara Asia, maka model demokrasinya harus beradaptasi dengan situasi dan kondisi setempat. Yang dimaksud situasi dan kondisi setempat adalah sejarah sebuah bangsa, nilai-nilai yang dianut termasuk nilai agama, serta budaya dan tradisi masyarakat setempat yang dikenal dengan istilah “kearifan lokal” atau local wisdom.

Y: “Saya mendengar Islam di Indonesia berbeda dengan Islam di Arab”, kata seorang mahasiswa.

A: “Sebetulnya kalau bicara Islam, maka dapat saya katakan hanya ada satu Islam di dunia. Hanya saja nilai-nilai Islam yang universal dalam implementasinya dipengaruhi oleh banyak hal, seperti budaya dan kebiasaan masyarakat setempat, kemudian masuknya unsur-unsur cara dan bentuk pakaian, jenis makanan, termasuk kondisi alam serta musim yang dimilikinya. Dan semua itu harus dilihat sebagai memperkaya Islam itu sendiri, sepanjang tidak melanggar nilai-nilai substantial yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan Hadits. Sampai saat ini, masalahnya banyak yang tidak bisa membedakan antara mana nilai-nilai Islam dan mana tradisi Arab, termasuk bagi penganut Islam itu sendiri”.

Y: “Bisa diberikan contoh ?”, katanya masih belum puas.

A: “Seperti dalam pakaian, ada ketentuan aurat baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sepanjang ketentuan ini terpenuhi, maka boleh saja orang berpakaian Aceh, Minang, Jawa, dan sebagainya. Dengan kata lain, tidak harus berpakaian ala orang Arab. Kalau diperluas, orang Arab sendiri pakaiannya beda-beda, termasuk apakah jenis dan bentuk pakaian yang digunakan oleh orang-orang Arab sekarang sama dengan yang digunakan oleh Rasulullah dan para sahabat waktu itu ?”.

Z: “Sejauh mana toleransi di Indonesia khususnya bagi penganut agama yang berbeda ?”, tanya seorang dosen.

A: “Toleransi dalam beragama bisa dilihat dalam berbagai implementasinya, antara lain: Tidak saling mengganggu ketika salah satu kelompok mengamalkan atau melakukan ibadah sesuai dengan ketentuan agamanya.”.

Z: “Bagaimana dengan undang-undang atau kebijakan negara terkait dengan semua itu ?”, katanya mengejar.

A: “Di Indonesia, semua agama yang diakui Negara memiliki hari libur, dan saat sebuah kelompok agama melakukan upacara keagamaan atau ibadah, maka aparat punya kewajiban untuk mengamankan dan mempermudahnya”.

Z: “Apakah pernah terjadi bentrokkan antar kelompok agama ?”, katanya nampak belum puas.

A: “Tentu saja masih terjadi sampai sekarang, meskipun jumlahnya semakin lama semakin berkurang. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa meskipun nama agama seringkali dibawa-bawa, penyebab awalnya biasanya terkait dengan kesenjangan ekonomi, diskriminasi etnis atau suku, atau persoalan cinta pada remaja. Saya melihatnya sebagai sebuah fenomena sosial saja”.

 

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Dr. Muhammad Najib

Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO. Penulis Buku "Mengapa Umat Islam Tertinggal?" info pemesanan buku
Back to top button