Kanal

Di Beranda Istana Alhambra (6 – Terbang dengan Turkish Air)

Aku memilih Turkish Air karena dua pertimbangan, pertama : Harganya kompetitif, pesawat-pesawatnya baru, makanannya enak dan halal. Kedua: Karena transitnya di Istambul dan sedang ada promosi one day tour keliling kota Istambul tanpa menambah biaya dan dipermudah untuk keluar bandara. Ada beberapa pilihan paket tour yang semuanya dapat dipesan online sebelum kita meninggalkan Jakarta. Aku lalu memilih paket yang menawarkan kunjungan ke tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah dan sudah sering aku dengar dan aku baca di berbagai tulisan ilmiah. Sekali-sekali aku cek ke Google untuk memastikannya.

Pukul 21.40 pesawat meninggalkan bandara Sukarno-Hatta. Saat memasuki pesawat aku perhatikan badan pesawat sangat lebar, di dalamnya terasa luas sekali. Interiornya sangat bagus, kombinasi antara bentuk, warna, dan lampu yang diatur terang dan redup. Saat membagikan makanan lampu terang sekali dan waktu tidur redup membuat mata mengantuk. ACnya dingin dan merata di seluruh pojok ruangan. Pramugarinya ramah sekali, setiap penumpang yang memasuki pesawat disapa diiringi senyuman, lalu diperiksa boarding pastnya, kemudian diarahkan untuk menuju tempat duduk masing-masing sesuai nomor kursi.

Biasanya aku naik pesawat di dalam negri hanya ada satu lorong, tapi pesawat ini memiliki dua lorong. Satu baris bisa disisi 9 tempat duduk. Sekilas aku memperkirakan lebih dari 200 penumpang bisa diangkut sekaligus. Hebat betul orang yang membuatnya fikirku, pasti pahalanya banyak sekali karena ia telah memudahkan orang yang berpergian jarak jauh. Aku teringat sebuah hadist yang pertama kali aku dengar saat duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah Islamiah yang berbunyi: Sebaik-baik manusia adalah mereka yang mampu memberikan manfaat lebih  kepada sesama.

Aku berkeyakinan penemuan pesawat merupakan bagian dari amal saleh yang masuk kategori amal jariah, seperti juga penemuan listrik, komputer, internet dan berbagai produk sain dan teknologi yang bermanfaat bagi umat manusia. Jadi amal jariah bukan hanya anak yang saleh dan mendirikan masjid atau mendirikan sekolah, serta ilmu yang bermanfaat yang diajarkan kepada orang lain  saja. Otakku terus berputar membayangkan berbagai amal jariah lainnya di era modern seperti mendirikan bank syariah, membuat media yang mampu mengedukasi publik dan seterusnya. Tanpa tersa fikiranku terus bergerak antara sadar dan mimpi.

Pesawat tiba-tiba bergoncang keras sekali, aku terbangun, kemudian  menoleh kekiri dan ke kanan, aku lihat Ipah dan Amir masih lelap dalam tidurnya. Aku melihat sebagian besar penumpang mulai merapikan pakaiannya. Aku perhatikan waktu menunjukkan pukul  05.55 pagi waktu setempat.  Berarti pesawat sudah terbang nonstop selama lebih dari 11 jam.   “Alhamdulillah !”, gumamku spontan. Berarti pesawat telah mendarat di Istanbul. Ada perbedaan waktu 4 jam antara Jakarta dan Istanbul. Aku lalu memutar jam di tangan, untuk disesuaikan dengan waktu setempat, agar tidak kacau saat harus melanjutkan perjalanan dengan pesawat berikut. Kemudian terdengar aba-aba dari seorang pramugari yang mengingatkan agar seluruh penumpang tetap pada tempat duduknya masing-masing sampai pesawat berhenti dengan sempurna. Setelah pesawat parkir, para penumpang meninggalkan pesawat dengan tertib.

Aku langsung menuju information Center untuk menanyakan dimana aku bisa mengurus tour yang telah aku pesan. Seorang gadis yang duduk di meja informasi memberikan petunjuk dengan menggunakan telunjuknya. Hanya berjalan kurang dari 5 menit kami sampai di deretan meja yang berisi papan nama sejumlah perusahaan yang menawarkan tour. Aku melihat kembali nama perusahaan yang aku pesan. Saat aku menghampiri meja seorang pemuda dengan cekatan meminta paspor kami, lalu mengantar kami melewati petugas Imigrasi.

Kami meninggalkan bandara dengan menggunakan minibus yang di dalamnya hanya ada aku, Ipah, dan  Amir, ditambah 3 orang turis lainnya yang tampaknya berasal dari Timur Tengah, yang bisa dikenali dari wajah dan bahasa Arab yang digunakan. Mereka menggunakan bahasa Arab Amiyah sehingga hanya sebagian dari pembicaraannya yang aku faham. Kalau aku perhatikan dialeknya, tampaknya mereka berasal dari salah satu negara Arab Teluk. Seorang guide perempuan yang masih muda menemani kami dalam tour singkat yang kami ikuti.

“My name is Hatice Celik and call me Hatice!”, katanya memperkenalkan diri.

Oh ternyata namanya Hadijah, fikirku berspikulasi dalam hati. Rupanya orang Turki menyebut “Hatice” untuk nama “Hadijah” .

“I was born in Ankara, but I finished my study in Istanbul”, katanya melanjutkan.

Hatice yang bermata coklat dan berambut pirang banyak mengulum senyum, dan tampak ramah sekali.

What is your religion.?”, tanyaku spontan.

Of cours I am Muslim. May be you have already known that majority of Turkish People’s  are Muslim”, ia menjawab.

And our Muslim is Sunni like Muslim in your country”, tampaknya ia tahu kalau aku dari Indonesia.

What is your opinion about Erdogan ?”, tanyaku lagi.

“You mean Recep Tayyip Erdogan our President ?”, tanya dia balik kepadaku

“Yes”, jawabku singkat.

I don’t want to talk about politic ”, jawabnya menghindar.

Tidak terasa kami sudah berada di depan Masjid Hagia Sophia. Hatice lalu menjelaskan bahwa masjid tersebut merupakan masjid bersejarah dan memiliki arti penting bagi bangsa Turki. Masjid tersebut semula merupakan katedral Kristen Ortodoks Yunani yang diubah menjadi masjid setelah Muhammad Al Fatih berhasil merebut Istanbul. Secara fisik perubahan itu ditandai dengan ditambahkannya empat menara di empat sudut bangunan oleh seorang arsitektur terkenal saat itu bernama Sinan. Begitu juga nama kota yang semula bernama Konstantinopel diubah menjadi Istanbul.

Sambil memutar badannya yang langsing yang dibalut dengan blus pendek yang bagian bawahnya di atas dengkul berwarna biru, Hatice menunjuk ke arah seberangnya.

That is blue mosque, the most beautifull mosque in the world”, katanya dengan nada bangga. Menurut Hatice Blue Mosque atau masjid biru dibangun belakangan dibanding Masjid Hagia Sophia. Ia dibangun karena sulthan waktu itu ingin menunjukkan bahwa orang Turki bisa membuat bangunan yang sama megahnya dan sama indahnya dengan Hagia Sophia yang dibuat oleh orang Yunani.

“Bagaimana perasaan itu sampai muncul .?”, tanyaku spontan.

“Sebagai penakluk Konstantinopel, para pembesar Turki waktu itu sering disindir oleh para petinggi bangsa Eropa, bagaimana mungkin bangsa yang mengaku penakluk masih harus meminjam simbol kebesarannya dari bangsa yang ditaklukkan”, kata Hatice.

Sekarang aku jadi faham mengapa sudah ada Masjid Hagia Sophia yang besar dan indah masih harus membangun masjid yang sama besarnya hanya dalam jarak sekitar seratus meter saja.

“Saya berikan anda waktu satu jam untuk bisa lebih mendekati dua bangunan ini, dan saya menunggu di sini. Jangan terlambat karena kita masih harus mengunjungi tempat menarik berikutnya”,  katanya mengingatkan sambil melihat jam yang dikenakan di tangan kirinya. Hatice lalu duduk di kursi kayu panjang yang berada di taman bunga yang terletak di antara dua bangunan megah dan indah tersebut.

Aku buka kursi roda lipat dan aku letakkan Amir, kemudian aku dorong sembari mengajak Ipah bergegas menuju Hagia Sophia. Shalat Tahiyatul Masjid dua rakaat sebagai bentuk syukur aku bisa menginjakkan kaki di masjid bersejarah ini. Seusai Shalat aku tengadahkan kepala untuk menatap ke atas, tampak kubah bulatnya yang berbentuk setengah bola berada di tempat yang sangat tinggi ditopang pilar-pilar besar yang sangat kokoh. Lantainya terbuat dari marmer tebal dan lebar-lebar, sedangkan dindingnya dari granit mengkilap warna-warni membuat suasana terasa sangat sakral.

Aku berputar-putar sejenak, di sejumlah sudut tampak berbagai ornamen yang menunjukkan bangunan ini merupakan katedral sebelum diubah menjadi masjid. Setelah puas berkeliling, aku bergegas menuju  Blue Mosque. Aku shalat dua rakaat, kemudian kembali aku tengadahkan lagi kepalaku. Ku tatap kubah yang sama tingginya dan pilar yang sama kokohnya, hanya saja ornamennya jauh berbeda. Kaligrafi nampak mendominasi, dikombinasi dengan berbagai bentuk lukisan bunga dengan latar belakang warna biru cerah. Rupanya ini yang membuat masjid ini disebut Masjid Biru pikirku.

Dari sisi arsitektur Blue Mosque memiliki bentuk dasar persis sama dengan Hagia Sophia, hanya saja sangat kental sentuhan Islamnya. Kubah besar yang berada di bagian tengah yang dikelilingi kubah-kubah kecil setengah bola dan seperempat bola, yang kemudian menjadi ciri masjid-masjid Turki baik yang dibangun di wilayah Turki ataupun yang dibangun di berbagai negara oleh para imigran Turki. Tanpa terasa waktu yang ditentukan hampir habis. Aku segera mendorong kereta Amir sambil memberikan isyarat kepada Ipah agar segera mengikutiku.

On time…!”, komentar Hatice ketika kami berdiri kembali dihadapannya.

Lets We continue our tour to Topkapi Museum!”,katanya sambil bergerak.

Aku mengikutinya dari belakang. Ketika memasuki gerbang utamanya, kami melihat kaligrafi sederhana, unik bentuknya, dan tampak sangat indah di atas gerbangnya.

“Itu simbol Kesultanan Turki Usmani, stempel, dan kop surat Kesultanan juga selalu dihiasi simbol tersebut”, kata Hatice menjelaskan ketika tahu aku memperhatikannya.

“Kalau yang itu bendera Turki Usmani yang kami terus gunakan sampai sekarang”, kata Hatice sambil menunjuk bendera dengan lambang bulan sabit putih yang bertengger bintang segi lima pada bagian ujungnya, dengan latar belakang merah darah yang berkibar gagah di benteng kecil yang diapit dua menara yang membingkai pintu gerbang kayu yang dikombinasi besi baja tebal yang nampak sangat kokoh. “Banyak sekali negara muslim yang terinspirasi dengan bendera Turki, sehingga kemudian menggunakan simbol bintang dan bulan untuk bendera negaranya, walau warnanya berbeda-beda”, kata Hatice.

“Museum ini dulunya istana yang digunakan berabad-abad oleh para sultan Turki Usmani. Sebelumnya ia juga digunakan oleh para kaisar Romawi Timur yang juga dikenal dengan nama Bizantium. Setelah diambil alih oleh Turki Usmani berbagai bangunan baru ditambahkan, benteng yang mengitarinya diperkokoh. Tempat ini sangat strategis karena berada di tempat yang sangat tinggi dan dikelilingi oleh laut yang dalam. Karena itu sangat ideal untuk dijadikan istana pada waktu itu. Orang menyebutnya : Golden Horn atau tanduk emas”, kata Hatice sebelum memasuki bangunan utamanya.

Aku mendengar suara orang mengaji dengan suara yang sangat merdu ketika mulai memasuki ruangan. Aku berusaha mencari sumbernya. Ternyata bukan casset tetapi seorang kori’ yang membaca AL Qur’an dengan khusuknya. Banyak sekali kulihat barang-barang bersejarah yang dikoleksinya, mulai pedang Sayyidina Ali bin Abhi Talib, jubah Rasulullah, sampai tongkat Nabi Musa. Menurut Hatice lebih dari 2.000 koleksi berbagai macam benda suci peninggalan para Nabi, Rasulullah, serta sahabatnya bisa ditemukan ditempat ini.

“Bagaimana cara mengoleksinya sehingga bisa mengumpulkan benda-benda yang sangat penting dalam perjalanan sejarah Islam .?”, kataku bertanya pada Hatice.

“Semua ini dikumpulkan dalam rentang waktu yang panjang selama Turki Usmani memimpin dunia Islam”, jawabnya bersemangat.

“Bagi para sulthan waktu itu, mengumpulkannya merupakan bagian dari tugas suci untuk menyelamatkan jejak sejarah Islam. Akan tetapi dimata para pakar politik, semua itu dilakukan untuk mendapatkan legitimasi kepemimpinan Turki Usmani di dunia Islam.”, kata Hatice.

Now We are going to Panorama 1453 Museum History”, kata Hatice sambil meninggalkan Topkapi, kemudian menuju ke mobil dan mengisyaratkan kepada sopir untuk bergerak.

Hanya dalam hitungan puluhan menit mobil memasuki lapangan yang sangat luas dan hijau tertata asri. Kami lalu bergerak menuju bangunan yang bentuknya unik dan megah. Saat memasuki bangunan tampak banyak koleksi yang dipajang, tetapi kami diajak bergegas melewatinya langsung menuju lift.

“Kita tidak punya banyak waktu”, kata Hatice singkat.

“Inilah museum yang menceritakan bagaimana Muhammad Al Fatih saat menaklukkan kota Istanbul. 1453 merupakan tahun bersejarah itu”,  kata Hatice saat kami telah berada di dalam.

Kini kami berada seperti di sebuah anjungan yang tinggi di ruang terbuka. Museum ini sejenis diorama tiga dimensi, pikirku. Suara genderang pasukan Turki terus terdengar dengan suara berirama menyemangati pasukan. Muhammad Al Fatih nampak di depan memimpin pasukannya sembari memberikan perintah dari atas  kuda putih dengan jubah merah serta pakaian kebesarannya. Sejumlah pasukan berada di belakangnya dengan berbagai senjata, termasuk meriam besar yang menjadi senjata andalannya. Setelah puas melihatnya, Hatice lalu memberi aba-aba: “Lets We go back to the air port”.

Mobil bergerak menyusuri sebagian puing-puing bekas benteng pelindung kota Istanbul yang nampaknya sengaja di pertahankan. Saat melewati jembatan yang sangat tinggi dan panjang, Hatice menjelaskan: “Sekarang kita berada di atas Selat Bosporus. Selat ini memisahkan dua benua, Eropa dan Asia. Karena itu orang menyebut kota Istanbul berada di dua benua. Sebelum Al Fatih, sultan-sultan Turki hanya berkuasa di wilayah Asia yang disebut Anatolia. Barulah sesudah Al Fatih kekuasaan Turki meluas ke wilayah Eropa”.

Tanpa terasa kami sudah kembali berada di Airport Istanbul yang sangat luas, megah, dan indah dengan arsitektur Turkinya. Menurut Hatice airport ini merupakan airport baru yang berada di bagian utara kota Istanbul, sedangkan  yang lama berada di bagian Selatan. Sekarang  airport ini menjadi airport termegah dan terbesar di Eropa. Ia memiliki lima run way dan akan terus dikembangkan. Dibangun oleh Presiden Erdogan yang sangat berambisi, bukan saja menjadi pemimpin Turki yang akan dikenang oleh rakyatnya sendiri, ia juga ingin mengembalikan kejayaan Turki Usmani yang pernah memimpin Dunia Islam selama berabad-abad.

Melihat aku yang sangat antusias mendengarnya, Hatice melanjutkan penjelasannya: “Erdogan juga membangun sejumlah jembatan dan tunel yang dapat dilalui oleh mobil dan kereta yang menghubungkan Istanbul Asia dan Istanbul Eropa. Ia juga membangun Istana Presiden yang sangat megah di Ibukota Ankara. Kini ia hendak membuat jalur alternatif penghubung Laut Hitam dan Laut Mediterania sebagai alternatif Selat Bosporus yang mulai padat”, kata Hatice sambil bergerak menjauh dan melambaikan tangannya tanda perpisahan.

(Bersambung)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Dr. Muhammad Najib

Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO. Penulis Buku "Mengapa Umat Islam Tertinggal?" info pemesanan buku
Back to top button