Kanal

Di Beranda Istana Alhambra (7 – Santai di Buen Retiro Park)

Saat itu hari Sabtu yang merupakan bagian dari hari libur akhir pekan warga Madrid. Pagi itu cuaca agak mendung temperatur menunjukkan sekitar 5 derajat celcius, matahari sekali-sekali saja menampakkan diri. Seusai mandi dan sarapan pagi aku mengambil jaket.

“Bagaimana jadi berangkat ?”, tanya Iqbal dengan nada menguji tekadku.

Aku tidak menjawabnya, karena aku yakin senior ku yang sudah 2 tahun mengambil program doktor di bidang sejarah Islam di Andalusia (Spanyol), bisa membaca isyarat tubuhku yang tidak gentar pada cuaca dingin yang menggigit.

Sambil tersenyum dan dengan nada menggoda ia berkata: “ Di ruang terbuka tidak cukup dengan menggunakan jaket seperti itu. Aku sudah siapkan kaos dalam lengan panjang, long John, dan overcoat. Tapi maaf semua bukan barang baru, maklum masih mahasiswa!”.

Kami berdua lalu bergerak ke halte bus yang tidak jauh dari rumah. Bus Kota di Madrid besar-besar berwarna biru dengan garis merah. Tempat duduk yang tersedia hanya sedikit sehingga lebih banyak yang berdiri.

Aku mengambil tempat duduk di depan, dengan harapan agar leluasa melihat pemandangan sepanjang jalan. Iqbal berdiri di sebelahku, ia berbisik:”Nanti kalau ada orang tua atau orang cacat kau harus berdiri, agar tidak ketahuan kita datang dari dusun”.

Aku meresponnya dengan senyum sebagai isyarat bahwa aku mengerti adat-istiadat setempat.

“Musim dingin tahun ini datang lebih awal, di beberapa dataran tinggi sudah diselimuti salju. Dulu salju tidak pernah mampir ke kota Madrid, akan tetapi akhir-akhir ini beberapa kali jalan-jalan tertentu digenangi salju. Aku tidak tahu, apakah ini yang disebut akibat dari climate change”, kata Iqbal menjelaskan keadaan.

Aku hanya mendengar saja, perhatianku tertuju pada bangunan-bangunan yang tampak, orang-orang yang lalu-lalang, dan kondisi jalan yang bersih dengan kendaraan yang tertib, baik saat bergerak maupun berhenti.

Tidak terdengar sama sekali suara kelakson mobil ataupun motor. Di kota ini jarang sekali terlihat motor, mungkin karena cuaca yang tidak bersahabat membuat orang nggan naik motor.

“Kapan Indonesia bisa seperti ini”, fikirku dalam hati.

“Kita sudah sampai, yuk kita turun!”, kata Iqbal memberikan aba-aba. Kami turun di halte yang berada di jalan melingkar yang sangat ramai.

- inilah.com
Puerto de Alcala (foto: riset)

“Itu namanya Puerto de Alcala. Kalau kota Paris punya gerbang Arc de Triomphe, maka Madrid punya Puerto de Alcala”, kata Iqbal sambil menunjuk ke arah bangunan kokoh yang indah berarsitektur Neo Klasik menyerupai gerbang.

“Puerto de Acla dibangun pada 1778 M oleh seniman terkenal bernama Fancesco Sabatini. Ia merupakan gerbang dari benteng yang dibangun oleh Raja Philip IV untuk melindungi taman Buen Retiro Park yang disingkat El Retiro.

El Retiro yang dibangun tahun 1680 awalnya dimaksudkan sebagai taman yang merupakan bagian dari istana yang hanya bisa dinikmati oleh keluarga Kerajaan. Di dalamnya disamping terdapat Istana Kristal, juga dilengkapi dengan museum dan teater. Sejak akhir abad 19 taman ini dibuka untuk publik, dan sejak tahun 2021 ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO”, kata Iqbal yang berperan sebagai guide.

“Yuk kita masuk!.”, katanya melanjutkan sambil bergerak ke arah El Retiro.

“Aku mau duduk di sini sejenak”, responsku sambil menuju sebuah kursi kayu yang berada di depan gerbang. Iqbal kemudian berbalik arah mengalah.

Aku perhatikan mobil-mobil bergerak pelan mengitari Puerto de Acla. Mobil-mobil berhenti saat lampu merah di persimpangan jalan menyala. Orang-orang menyebrang jalan dengan bergegas, ada yang jalan bergerombol, tapi ada juga yang sendiri ditemani anjing piaraannya, bahkan ada yang membawa lebih dari satu. Anjing-anjing aku lihat ada yang sebesar kucing, tapi ada pula yang sebesar kambing. Ada yang kurus langsing, dan ada pula yang gemuk kekar. Baru pertama kali aku melihat anjing diberi baju, mungkin karena ini musim dingin fikirku.

Aku tertarik memperhatikan orang-orang yang lewat di depanku, remaja yang bergerombol sambil bercanda dan tertawa riang saat lewat di depanku, orang tua dengan tongkatnya, dan orang cacat dengan kursi rodanya, semua mendapatkan ruang yang sama di kota ini. Mereka seperti saling mempersilahkan dengan tertib dan rapi, tidak ada kesan saling menyerobot atau saling menyalip. Bila lampu merah menyala maka semua mobil berhenti, tidak ada yang nyelonong. Begitu juga penyeberang jalan, bila lampu isyarat menyebrang menyala baru mereka menyebrang. Saat-saat sepi, sekali-sekali satu dua remaja memotong jalan sambil setengah berlari menyeberangi jalan walau lampu untuk kendaraan terlihat masih hijau.

Aku perhatikan orang-orang Spanyol secara fisik tidak homogen, ada yang besar tinggi tapi ada juga sebesar orang Indonesia, ada yang rambutnya pirang ada pula yang hitam, kulitnya ada yang bule ada pula yang coklat sawo matang. Gadis-gadisnya banyak yang rambutnya dipelihara sampai sebahu, ada yang dibiarkan tergerai tapi ada pula yang diikat. Aku bertanya pada Iqbal tentang hal ini.

“ Bangsa Spanyol sudah tidak murni lagi, saat Islam berkuasa di bawah Dinasti Bani Umayyah, negri ini terbuka untuk semua imigran. Para ilmuwan datang dari berbagai negara untuk mengajar, para mahasiswa datang dari berbagai negara untuk belajar, para pedagang datang untuk mengadu nasib, dan para seniman musik, sastra, pelukis, dan lain-lain datang untuk unjuk kebolehan. Karena itu secara alami terjadi perkawinan silang. Bahkan ibu dari sejumlah khalifah, banyak yang bukan orang Arab tapi orang Spanyol, dan tidak sedikit tetap mempertahankan agama leluhurnya Katolik”, papar Iqbal menjelaskan.

Berkali-kali aku melihat sejumlah gadis remaja yang lewat bak melihat bidadari. Wajahnya keakraban, kulitnya putih bersih, bola mata ada yang hitam tapi ada yang kuning atau biru, alisnya tebal, tubuh semampai. Sekali-sekali lewat gadis yang bagian punggungnya atau bagian perutnya terbuka, sehingga membuat aku berkali-menundukkan kepala sembari mengucapkan istigfar. Rupanya Iqbal memperhatikan ku, kemudian berkata dengan nada menggoda: “Saat ini masih musim dingin, nanti kalau musim panas tiba, akan lebih seru”.

“Yok kita ke dalam!”, kataku sambil bergerak untuk mengalihkan perhatiannya dan menutupi wajahku yang gugup kepergok.

“Kata Ustad kalau melihat sekali tidak apa-apa, yang haram kalau melihatnya berkali-kali”, katanya masih terus menggoda.

Walaupun aku berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, akan tetapi fikiranku telah terlanjur gagal fokus dan tidak mau diajak kompromi. Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke tema semula dan memberanikan diri bertanya: “Bagaimana perempuan-perempuan Spanyol bisa secantik itu ?”.

Dengan tersenyum nakal Iqbal bertanya: “Pernah dengar hukum Mendel ?”. Aku menggelengkan kepala.

“Nama aslinya Gregor Johann Mendel, ia seorang ahli biologi asal Austria. Walaupun eksperimennya terbatas pada tanaman, akan tetapi banyak ilmuwan meyakini bahwa hukum yang ditemukannya juga berlaku pada hewan dan manusia. Temuannya yang sangat terkenal adalah tentang perkawinan silang. Jika rumpun yang berbeda dikawinkan, maka akan melahirkan keturunan baru yang unggul, seperti pada buah muncul rasa yang lebih manis, warna lebih indah, ukuran lebih besar, dan sebagainya. Kini kau faham jawabannya kan ?”, katanya dengan nada bertanya sambil memandang raut wajahku.

Aku tetap diam tak bereaksi.

Sambil mendorong tubuhku, dan dengan diiringi tawa ia melanjutkan: “Orang Spanyol banyak yang cantik karena ketika bangsa Arab berkuasa di sini terjadi banyak perkawinan silang, bukan saja antara Arab dan Spanyol, akan tetapi juga bangsa-bangsa lain yang datang ke sini. Hal ini terjadi bukan hanya pada masyarakat kebanyakan, akan tetapi juga di kalangan ningrat. Hal serupa juga terjadi di Turki, tidak sedikit ibu dari para sulthan Turki adalah orang-orang Eropa”.

Aku tersenyum puas mendengarnya.

“Waspada ! Jangan sampai lupa yang di rumah, nanti aku laporkan ke Ipah!”, katanya dengan nada mengancam. Aku balas dengan cara mendorong badannya ke samping. Iqbal tertawa keras sambil terus melangkah santai.

Di bulevar taman banyak sekali orang yang lalu- lalang, ada yang berjalan santai, setengah berlari, menggunakan skateboard, atau mengayuh sepeda. Jalan lebar dipagari berbagai jenis pohon yang rimbun dan tertata rapi. Di bagian-bagian tertentu dihiasi oleh taman bunga. Di bagian tengahnya terdapat danau buatan. Banyak boat kayu kecil yang di dayung oleh penumpangnya.

Di sepanjang danau banyak bangku panjang yang tersedia. Sebagian dimanfaatkan untuk beristirahat, tetapi tidak sedikit orang yang sengaja duduk melamun menghadap ke danau.

- inilah.com
(Foto: riset)

Sejak dari pintu gerbangnya berjajar rapi berbagai orang yang unjuk kebolehan, mulai tukang sulap, pelukis wajah, robot yang selalu bergerak dan memanggil setiap anak yang lewat, dan sejumlah pengamen. Ada banyak pengamen yang tampil di tengah taman, ada pemain Solo, ada penyanyi yang diiringi musik, dan ada yang hanya membawakan lagu-lagu dengan instrumentalia? Semuanya serius dalam pengertian membawakan lagu sejak awal sampai selesai, dan mereka menikmati serta menghayati lagu-lagu yang dibawakannya.

Tidak seperti di Indonesia yang lebih cocok disebut sebagai pengemis bergitar.

Aku tertegun saat berada di sebuah group terdiri dari 5 orang, 2 peniup sexofon, 1 trompet, 1 gitar, dan satu bus. Karena puas dengan lagu yang dimainkannya lalu ku lempar sebuah koin ke kotak yang diletakkan di tengah mereka. Ketika selesai dengan menggunakan bahasa Inggris aku memesan sebuah lagu. Ketika ku sebutkan judulnya, salah seorang yang menjadi pemimpinnya mengangguk. Historia de Un Amor yang menjadi favoritku dimainkan dengan sempurna.

Lagu ini ketika dinyanyikan di tanah aslinya dan di tengah taman yang asri terasa lebih indah dan lebih syahdu. Aku lemparkan satu koin lagi sebagai tanda terimakasih.

Tidak salah kalau taman ini menjadi kebanggaan penduduk kota Madrid, disamping karena ia merupakan taman terluas (300 hektar) juga ia merupakan taman yang paling banyak dikunjungi khususnya saat hari libur, termasuk pada libur akhir pekan seperti hari ini.

(Bersambung)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Dr. Muhammad Najib

Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO. Penulis Buku "Mengapa Umat Islam Tertinggal?" info pemesanan buku
Back to top button