Ancaman pengangguran di Indonesia menjadi semakin nyata. Presiden Joko Widodo, pada 19 September 2024, mengingatkan bahwa 85 juta pekerjaan akan hilang di tahun 2025. Pemicunya jelas: teknologi yang kian maju, mulai dari mesin otomatis hingga kecerdasan buatan (AI), semakin menggeser peran manusia.
Realitas ini mengkhawatirkan karena Indonesia sedang dalam puncak bonus demografi, di mana penduduk berusia produktif sedang banyak-banyaknya. Seharusnya, ini menjadi kesempatan emas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui optimalisasi angkatan kerja produktif. Namun, tanpa penanganan yang tepat, bonus demografi ini bisa sia-sia di hadapan teknologi. Penduduk usia produktif yang lantas jadi penganggur akan menjadi beban dan mengancam stabilitas sosial dan ekonomi negara.
Ancaman itu pun bukan ancaman kosong belaka. Kesiapan sumber daya manusia Indonesia memang tertinggal. Kemampuan mereka dalam mengoptimalkan teknologi yang ada untuk produktivitas tidak menjanjikan. Usia sekolah rata-rata penduduk masih di bawah sembilan tahun. Mereka yang beruntung bisa bersekolah lebih lama malah tak bisa diserap dunia kerja.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih tinggi, yakni 8,62% atau sekitar 620 ribu orang. Padahal, lulusan SMK didorong untuk siap bekerja. Sayang, harapan itu masih jauh panggang dari api. Kesenjangan antara harapan dan kenyataan ini menunjukkan bahwa program pendidikan vokasi yang diusung pemerintah masih belum berhasil mengatasi tantangan di dunia kerja yang terus berubah.
Jika masalah ketenagakerjaan ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin Indonesia akan menghadapi gejolak sosial yang serius. Hilangnya 85 juta pekerjaan pada 2025 bukan sekadar ancaman, melainkan kenyataan di depan mata. Di saat teknologi merangsek cepat menggantikan tenaga manusia, pemerintah tampak lebih sibuk mengurus infrastruktur yang memang masih bermasalah pula.
Masa lima tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang katanya akan fokus mengurus sumber daya manusia, ternyata masih diwarnai eksperimen kebijakan yang tidak matang. Penghapusan UN, Kurikulum Merdeka, atau Uang Kuliah Tunggal (UKT) menghasilkan polemik hebat, tapi peringkat PISA Indonesia tetap saja jeblok. Masih buruknya sistem pendidikan inilah yang membuat bonus demografi seolah berada di tepi jurang. Silap sedikit, bisa jatuh menjadi kutukan demografi. Masalahnya nanti, ini bukan hanya berupa masalah ekonomi, tetapi juga masalah sosial yang dapat memicu ketidakstabilan yang lebih luas.
Parahnya lagi, realisasi anggaran pendidikan kita juga selalu rendah, di bawah amanat konstitusi. Realisasi belanja pendidikan tahun 2023 hanya mencapai 16,45% belanja negara. Padahal jelas, Pasal 31 Ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari belanja. Selisih 3,55% bukanlah angka yang kecil. Itu setara dengan Rp110 triliun per tahun, nyaris memadai untuk memberi gaji guru hingga Rp30 juta per bulan.
Kondisi ini seharusnya dievaluasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), karena pengesahan realisasi APBN 2023 adalah kewenangan DPR. Nyatanya tidak demikian; realisasi anggaran telah disetujui pada pertengahan September lalu.
Penganggaran yang amburadul ke depan harus dibenahi. Jika memang pemerintahan yang baru terpilih, yakni pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, ingin menunjukkan keberpihakan terhadap rakyat, maka peningkatan kualitas pendidikan harus menjadi agenda utama. Evaluasi program pendidikan yang ada perlu dilakukan agar Indonesia tidak hanya menjadi negara dengan sumber daya manusia berlimpah namun tidak berkualitas.
Pembangunan infrastruktur yang kian gencar pada 10 tahun terakhir perlu mulai digeser dan difokuskan untuk membangun kualitas sumber daya manusia Indonesia. Negarawan Amerika, Benjamin Franklin, menyatakan, investasi dalam pengetahuan selalu memberikan bunga terbaik. Maka, peningkatan kualitas pendidikan bagi masyarakat Indonesia harus dilakukan, apalagi di tengah kondisi bonus demografi yang tengah dihadapi.
Bonus demografi adalah kesempatan langka yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan menjadi kunci utama dalam menjawab tantangan ini. Reformasi pendidikan, terutama pendidikan vokasi, harus menjadi prioritas utama. Kurikulum pendidikan harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi terkini, dan investasi di bidang riset serta pelatihan keterampilan baru harus diperkuat.
Namun, solusi jangka panjang seperti ini tidak akan memberikan hasil instan. Oleh karena itu, pemerintah juga harus mempertimbangkan solusi jangka pendek untuk meredam dampak dari hilangnya pekerjaan. Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan adalah mendorong tenaga kerja Indonesia untuk mencari peluang kerja di luar negeri.
Banyak negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Jerman yang saat ini mengalami krisis tenaga kerja akibat populasi yang menua. Indonesia, dengan populasi usia produktif yang melimpah, bisa memanfaatkan peluang ini dengan memfasilitasi migrasi tenaga kerja ke negara-negara tersebut.
Peran duta besar Indonesia di luar negeri menjadi sangat penting dalam rangka memetakan kebutuhan pasar tenaga kerja di luar negeri dan mengomunikasikannya kepada rakyat Indonesia. Selain itu, masyarakat Indonesia juga perlu dilatih sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan di negara-negara tersebut. Dengan demikian, Indonesia dapat mengisi kekosongan pasar tenaga kerja luar negeri dan juga ikut berkontribusi dalam peningkatan devisa negara.
Di luar solusi jangka pendek seperti ini, pemerintah harus segera membenahi sistem pendidikan dan ketenagakerjaan yang ada untuk menghadapi ancaman pengangguran struktural. Otomasi dan teknologi tidak bisa dihindari, dan Indonesia harus siap beradaptasi dengan perubahan tersebut. Pekerja harus dibekali dengan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Pemerintah juga harus hadir dengan kebijakan yang mampu menjembatani kesenjangan antara kebutuhan industri dan kemampuan tenaga kerja.
Peningkatan investasi di bidang teknologi pendidikan dan pelatihan keterampilan akan menjadi kunci bagi masa depan ketenagakerjaan Indonesia. Jika dikelola dengan baik, ancaman hilangnya pekerjaan bisa diubah menjadi peluang untuk menciptakan lapangan kerja baru yang lebih relevan dengan perkembangan teknologi. Namun, jika tidak ditangani dengan serius, ancaman tersebut akan semakin nyata, membawa Indonesia ke dalam krisis ketenagakerjaan yang berdampak luas pada perekonomian dan stabilitas sosial.