Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut pemanggilan investor yang rencananya akan dilakukan Presiden RI Prabowo Subianto, dinilai tak cukup untuk mengatasi merosotnya ekonomi negara.
“Komunikasi ke pelaku pasar modal tidak cukup ya, karena masalah komunikasi cuma sebagian kecil yang memengaruhi sentimen investor,” kata Bhima kepada Inilah.com, Minggu (30/3/2025).
Bhima menjelaskan investor pasar modal di Indonesia jumlahnya sangat banyak. Ada yang berasal dari kalangan asing dan juga domestik.
“Mau dipanggil yang mana? Seberapa banyak yang akan diundang? Jelas komunikasi tidak menyelesaikan masalah,” ujarnya.
Sebaliknya Bhima menyarankan Presiden Prabowo memperbaiki fundamental ekonomi, khususnya daya beli masyarakat pasca-lebaran untuk meredam gejolak pasar.
“Cegahlah PHK massal di industri padat karya berlanjut. Lalu, kurangi beban fiskal melalui pengelolaan utang yang lebih disiplin. Selain itu, batalkan UU TNI dan tunda pembahasan RUU Polri karena bisa mengganggu stabilitas politik,” kata Bhima menjelaskan cara memperbaiki fundamental ekonomi Indonesia.
Sebelumnya, Presiden Prabowo dikabarkan akan bertemu dengan sejumlah investor dan pihak terkait lainnya setelah libur panjang Idul Fitri, yang dimulai pada Jumat (28/3/2025). Pertemuan itu ditujukan untuk mengkoreksi kesalahpahaman soal kebijakan-kebijakan negara setelah investor dan pemain ekonomi lainnya khawatir karena merosotnya ekonomi negara.
Dikutip dari Reuters, sebuah sumber di Kementerian Perekonomian mengatakan pada Kamis (27/3/2025) rencana pertemuan tersebut diambil buntut dari anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Selasa (18/3/2025) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US$) yang terus melemah.
Indonesia adalah negara dengan perekonomian terbesar di kawasan Asia Tenggara. Pada Selasa pagi (25/3/2025) rupiah melemah sebanyak 0.54 persen atau menjadi Rp16.640 per dolar AS (Amerika Serikat). Berdasarkan data LSEG, rupiah mengalami titik terendah pada 1998 saat menyentuh angka Rp16.800 per dolar AS selama krisis keuangan di Asia.
Tak pelak, kondisi ini telah menimbulkan waswas terkait dengan kebijakan Indonesia, juga kekhawatiran terhadap posisi fiskal negara dan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia