Diaspora Politik Kader Muhammadiyah


Diaspora politik kader Muhammadiyah di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menunjukkan perkembangan yang menarik. Dengan dilantiknya Brian Yulianto sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) pada 19 Februari 2025, jumlah kader Muhammadiyah yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan semakin bertambah. 

Brian Yulianto adalah profesor di Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam bidang nanomaterial yang mendapat Habibie Prize 2024 dalam Bidang Rekayasa. Brian juga Ketua Lembaga Kajian dan Kerjasama Strategis (LKKS) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat (2023-2027) dan Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Cibeunying Kaler, Kota Bandung (2023-2027).

Sebelumnya, beberapa kader Muhammadiyah telah masuk dalam Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran. Mereka adalah:

  • Abdul Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang merupakan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah.
  • Raja Juli Antoni sebagai Menteri Kehutanan, mantan Ketua Umum Ikatan Pelajar Muhammadiyah 2000-2002.
  • Fauzan, Wakil Menteri Diktisaintek, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
  • Fajar Riza Ul Haq, Wakil Menteri Dikdasmen, Ketua LKKS PP Muhammadiyah.
  • Dzulfikar Ahmad Tawalla, Wakil Menteri P2MI/Wakil Kepala BP2MI, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah.
  • Muhadjir Effendy sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Haji.
  • Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai Wakil Kepala Badan Penyelenggaraan Haji.

Muhadjir merupakan salah satu Ketua PP Muhammadiyah, sementara Dahnil adalah mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (detik.com, 20/02/2025).

Kenaikan jumlah aktivis Muhammadiyah ini menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo memberikan perhatian lebih besar terhadap organisasi ini dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Jumlah diaspora politik di pemerintahan ini akan tampak lebih signifikan jika ditambah dengan tokoh-tokoh yang memiliki irisan dengan Muhammadiyah seperti Anis Matta, Fahri Hamzah, Sulaiman Umar Siddiq, Zulkifli Hasan, Yusril Ihza Mahendra, Budiman Sudjatmiko, serta beberapa lainnya. Juga terdapat kader Muhammadiyah di DPR dan lembaga-lembaga pemerintahan seperti Saleh Partaonan Daulay, Sukadiono, Hilman Latief, Ahmad Najib Burhani, Amich Alhumami, dan lainnya. Keberadaan mereka tentu memiliki nilai strategis, baik bagi negara maupun bagi perkembangan organisasi Muhammadiyah.

Dinamika Hubungan Muhammadiyah dengan Pemerintah

Fenomena naiknya jumlah diaspora kader Muhammadiyah dalam pemerintahan saat ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan era sebelumnya. Pada periode pertama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, kader Muhammadiyah yang duduk di kabinet sangat sedikit. Bahkan, pemerintah saat itu baru mengajak Muhammadiyah masuk ketika terjadi reshuffle kabinet pada Juli 2016, dengan diangkatnya Muhadjir Effendy sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah itu, ada penambahan kader dengan diangkatnya Din Syamsuddin sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP) pada 23 Oktober 2017, yang kemudian mengundurkan diri pada 21 September 2018.

Pada periode kedua pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, jumlah diaspora kader Muhammadiyah bukan bertambah, tetapi justru berkurang. Jokowi tidak lagi menempatkan kader Muhammadiyah di Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Muhadjir Effendy dipindahkan menjadi Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Bahkan, keberadaan UKP-DKAAP juga dihapuskan.

Jika dibandingkan dengan jumlah kader Nahdlatul Ulama (NU) yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan, kader Muhammadiyah jauh lebih sedikit. Hal ini berimplikasi pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang mengakomodasi kepentingan Muhammadiyah, seperti:

  1. Penetapan Hari Santri sebagai hari libur nasional, yang cenderung mengakomodasi satu kelompok tertentu.
  2. UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, yang lebih menguntungkan kalangan tertentu.
  3. Program Moderasi Beragama, yang penggeraknya cenderung tidak melibatkan organisasi Islam secara inklusif.

Pada era SBY-Boediono (2009-2014), posisi Muhammadiyah dalam pemerintahan bahkan lebih marginal. Tidak ada satu pun kader Muhammadiyah yang duduk dalam kabinet. Hal ini membuat Muhammadiyah menjadi seperti “yatim politik”. Buya Syafii Maarif bahkan pernah menulis bahwa kader Muhammadiyah mengalami hambatan serius dalam mobilitas vertikal, baik di Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, maupun dalam pencalonan rektor di perguruan tinggi. Institusi pendidikan Muhammadiyah juga menghadapi kesulitan dalam pengurusan akreditasi, pembukaan jurusan baru, dan bantuan pendidikan dari pemerintah.

Prinsip Loyal dan Kritis

Beberapa pihak khawatir bahwa dengan meningkatnya jumlah kader Muhammadiyah dalam pemerintahan Prabowo-Gibran, Muhammadiyah akan kehilangan sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintah. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh Abdul Mu’ti, sikap politik Muhammadiyah tetap loyal dan kritis terhadap siapa pun yang berkuasa (Tempo, 5/01/2025).

Hal ini terbukti ketika Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, secara terbuka meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan PPN 12% yang rencananya diterapkan per 1 Januari 2025. Menurut Haedar, kebijakan pajak harus mempertimbangkan keadilan sosial dan jangan sampai menghambat kemajuan masyarakat (detik.com, 19/12/2024).

Selain itu, Haedar juga menegaskan bahwa Kemendiktisaintek harus mengedepankan inklusivitas, kesetaraan, dan keadilan, sehingga perguruan tinggi swasta (PTS) dapat berkembang setara dengan perguruan tinggi negeri (PTN) (antaranews.com, 19/02/2025). Selama ini, PTN mendapatkan keistimewaan dalam penerimaan mahasiswa melalui berbagai gelombang masuk, yang berdampak pada penurunan jumlah mahasiswa PTS.

Selain Haedar, pengurus Muhammadiyah lainnya seperti Busyro Muqoddas, Anwar Abbas, serta tokoh-tokoh LHKP (Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik) juga sering menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Pernyataan-pernyataan mereka menunjukkan bahwa meskipun kader Muhammadiyah berada dalam pemerintahan, sikap kritisme Muhammadiyah tetap terjaga.

Kita berharap bahwa prinsip loyal dan kritis ini akan terus terjaga, sehingga hubungan Muhammadiyah dengan pemerintah tetap harmonis, sekaligus mampu menjaga kepentingan masyarakat luas dan memperjuangkan nilai-nilai keadilan, inklusivitas, dan kemajuan bangsa.