Market

Didik Rachbini Soal Utang LN: Pemerintah Naif, Bebal dan Keras Kepala

Sabtu, 05 Nov 2022 – 09:21 WIB

Hasil Tes PCR Lambat, Ekonom Senior Ini Gagal Bertemu Presiden Jokowi

Prof Didik J Rachbini (Foto: Inilah.com)

Pengamat ekonomi dari Indef Didik J Rachbini menilai, banyak pihak sudah mengingatkan pemerintah Indonesia seputar bahayanya utang luar negeri yang didapat dengan bunga tinggi. Bahkan, belakangan International Monetary Fund (IMF) juga menyoroti terlalu tingginya bunga pinjaman Indonesia yang setara dengan negara miskin seperti Bangladesh.

“IMF dua hari lalu membuat pernyataan bahwa biaya pinjaman pemerintah Indonesia kini terlalu tinggi. IMF kesiangan alias terlambat melihat masalah ini, tetapi tidak salah karena semakin banyak pihak yang memberikan saran semakin baik bagi demokrasi. Tetapi parlemen dan pemerintah sekarang tergolong keras kepala dan bebal karena tidak melihat dengan benar dan seksama suara-suara kebenaran,” ujar Didik dalam keterangan tertulisnya, Jumat (4/11/2022).

Didik menilai, sebagian pengambil keputusan berpandangan naif terhadap kebijakan utang publik yang terus digenjot tanpa perhitungan teknokratis. Itu terjadi karena watak politik rakus anggaran memang merupakan watak dasar dari politikus.

“Tanpa kontrol dan kritik, kebijakan utang yang besar dengan bunga yang terlalu tinggi ditelan mentah-mentah begitu saja. Kualitas kebijakan fiskal seperti ini naif dan setara dengan negara terbelakang Bangladesh, seperti dikemukakan IMF,” tambah Didik.

Didik membenarkan anggapan IMF bahwa level biaya pinjaman pemerintah Indonesia atau sovereign borrowing costs saat ini terlalu tinggi. “Saya mengatakan tidak pakai nalar yang memadai, IMF mengatakan bahwa kondisi level bunga pun tidak relevan dengan upaya pengelolaan fiskal pemerintah yang semestinya semakin baik dari waktu ke waktu,” tambah Didik.

Didik menjelaskan mengapa kebijakan fiskal utang publik ini rendah kualitasnya? Berdasarkan data Regional Economic Outlook Asia and Pacific IMF edisi Oktober 2022, Indonesia masuk tiga besar dengan sovereign borrowing costs terbesar bersama Bangladesh dan India. Besarannya untuk local currency yield sekitar 8 persen untuk tenor 10 tahun.

Jawaban atas pertanyaan itu tidak lain adalah faktor politik, yang prosesnya tidak berkualitas.

“Pemerintah yang oligarkis dalam mengambil keputusan pada elite terbatas kemaruk dengan watak maximizing budget untuk kepentingan politiknya. Kontrol check and balance mati karena tidak ada oposisi yang signifikan. Kualitas partai tidak memadai sehingga jor-joran anggaran berjalan mulus dengan risiko beban utang pada pemerintahan selanjutnya,” papar Didik pula.

Sebagai contoh, pada tahun 2020 utang publik diputuskan sekitar Rp640 triliun, kebijakan yang tidak memadai untuk mengendalikan utang secara baik. Tetapi ketika terjadi serangan Covid-19, maka tanpa basa-basi utang diputuskan sepihak oleh pemerintah naik menjadi Rp1.200 triliun.

“Realisasinya lebih gila lagi, yakni Rp1.520 triliun. Untuk meloloskan kebijakan naif ini, wewenang DPR dilucuti sehingga APBN hanya diputuskan oleh pemerintah,” kata Didik.

Jadi, menurut Didik, kebijakan fiskal ala rezim ini adalah kebijakan fiskal yang ugal-ugalan dengan kualitas setara negara terbelakang Bangladesh. “Ini terlalu tinggi, dan kita inginnya itu lebih rendah lagi,” kata Didik mengutip James Wales, IMF Senior Resident Representative untuk Indonesia, Selasa (1/11/2022)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button