Sebagai perusahaan publik dan subholding PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Gas Nasional (Persero/PGN) Tbk, harus mengikuti aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang keterbukaan informasi.
Tapi sayangnya, PGN tak terbuka memberikan penjelasan terkait gugatan Gunvor Singapore PTE LTD (Gunvor) ke The London Court of International Arbitration.
Dikutip dari surat keterbukaan informasi PGN yang ditandatangani Corporate Secretary PGN, Fajriyah Usman, Jakarta, Kamis (19/9/2024), emiten gas pelat merah bersandi PGAS itu, menyebut adanya gugatan Gunvor ke The London Court of International arbitration di poin tiga.
Terkait kontrak kerja sama bisnis MSPA ( Master LNG Sale Purchese Agreement) dan CN ( Confirmation Notice). Kontrak ini ditanda tangani Direksi PGN dengan CEO Gunvor Singapore Pte Ltd di Geneva pada Juni 2022.
Namun, pihak PGN tidak menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya sehingga muncul gugatan itu. Khususnya mengenai kontrak jual-beli LNG antara PGN dengan Gunvor.
Di mana, PGN berkewajiban menyuplai LNG ke Gunvor sebanyak 8 kargo/tahun, selama 4 tahun sejak Januari 2024 hingga 2027. Namun dalam perjalanannya, PGN gagal menjalankannya. Berbuntut gugatan Gunvor ke arbitrase London.
Pada poin 4, PGN juga tidak terbuka menjelaskan implikasi atau dampak jika Gunvor menang gugatan arbitrase. Padahal, kontrak tersebut mengatur jika PGN gagal memenuhi kewajiban maka dikenakan finalti sebesar 130 persen dari nilai kontrak.
Dalam surat bernomor 067700.S/KU.06.01/OOS/2024 tertanggal 18 September 2024 itu, menjelaskan bahwa PGN menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan telah menunjuk tim hukum internasional yang berpengalaman di arbitrase.
Ada yang menarik dalam surat tersebut. Tertulis bahwa perkara hukum yang dihadapi PGN, tidak berdampak negatif terhadap perseroan. Baik dari sisi kegiatan operasional, hukum, kondisi keuangan, atau kelangsungan usaha. ”Kegiatan operasional perseroan berjalan dengan normal seperti biasa.”
Pada 3 November 2023, PGN telah menyampaikan force majeure kepada Gunvor terkait pelaksanaan kontrak. Menyusul force majeure itu, PGN menyebut adanya potensi kerugian sebesar Rp15 triliun.