News

Dikeroyok Sanksi, Rusia Bertahan, Eropa Malah Nyerah

Sanksi Rusia

Rusia diberondong dengan banyak sanksi dari negara Barat akibat invasinya ke Ukraina. Namun, Kremlin tampaknya anteng-anteng saja, perekonomiannya meski goyah tetapi masih tetap tangguh. Sementara negara-negara Eropa sepertinya bakal nyerah dan mengendorkan sanksi.

Mungkin anda suka

Rusia langsung mendapat sanksi dari Barat yang dimotori Amerika Serikat dan beberapa negara NATO beberapa jam setelah pasukan Rusia menyerang Ukraina pada 24 Februari 2022. Para pemimpin global memperingatkan Moskow bahwa mereka akan membuat perekonomian negara terbesar ke-11 di dunia itu terpuruk.

Dalam waktu singkat, mata uang Rusia, rubel, jatuh ke rekor terendah 150 terhadap dolar AS pada 7 Maret 2022. Pasar saham Rusia juga menghentikan perdagangan selama sebulan. Wall Street sempat memperkirakan ekonomi Rusia akan berkontraksi secara signifikan sebesar 9,6 persen.

Gegara invasinya itu, ratusan perusahaan dunia memilih hengkang dari Rusia. Ada yang memilih menutup operasi dan menjualnya ada pula yang menangguhkan kegiatan bisnisnya. Di antaranya, perusahaan besar dunia seperti McDonald’s, Mastercard, Samsung, Exxon Mobile, hingga British Petroleum.

Sanksi dan embargo terhadap Rusia ini diharapkan bisa menghentikan Pasukan Rusia menggempur Ukraina. Namun, perang telah berlangsung hampir lima bulan dan Rusia belum menunjukkan tanda-tanda akan menghentikan aksinya.

Presiden Rusia Vladimir Putin menganggap rentetan sanksi yang dijatuhkan negara Barat dan sekutu terkait invasi ke Ukraina gagal membuat negaranya menderita. Putin mengklaim pertumbuhan perekonomian Rusia sama sekali tidak terpengaruh sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat cs. Ia juga mengatakan tidak ada negara yang bisa mengisolasi Rusia dari dunia.

“Bukan hanya pembatasan, tetapi penutupan akses yang hampir ke semua produk teknologi tinggi asing dengan sengaja dijatuhkan guna melawan negara kita,” kata Putin saat pidato di depan tokoh pemerintah Rusia pada 18 Juli lalu.

Efek Lima Bulan Sanksi Barat

Semua pengamat sempat memprediksikan bahwa sanksi banyak negara ini akan merusak ekonomi Rusia. Bagaimana perkembangan perekonomian Rusia setelah hampir lima bulan mendapat sanksi?

Yang terjadi hari ini adalah rubel malah lebih kuat, naik ke level tertinggi tujuh tahun di 52,3 terhadap dolar AS bahkan lebih tinggi dari level sebelum invasi. Pemerintah Rusia telah menunjuk pemulihan rubel sebagai bukti bahwa sanksi tidak ada artinya bagi perekomian Kremlin.

Tak hanya itu, JPMorgan mengumumkan prediksi baru pada bulan Juli bahwa ekonomi Rusia mengalahkan ekspektasi, dengan produk domestik bruto sekarang diperkirakan turun hanya 3,5 persen.

Pengacara dan pakar hukum Singapura Tai-Heng Cheng dan Faraaz Amzar dalam tulisannya di Channel News Asia mengungkapkan, pendapatan Rusia dari ekspor energi sangat tinggi. Menurut organisasi penelitian independen Center for Research on Energy and Clean Air, Rusia memperoleh US$97 miliar dari ekspor minyak dan gas dalam 100 hari sejak dimulainya perang Ukraina, meskipun ekspor turun dan menjual minyak mentah Rusia dengan harga diskon atau hampir US$1 miliar per hari.

Tetapi ada kemungkinan bahwa pendapatan dari sektor energi Rusia akan berkurang. Uni Eropa mengatakan bahwa mereka bermaksud untuk memotong 90 persen dari ekspor minyak Rusia pada akhir tahun. Kelompok Tujuh (G7) juga ingin membatasi harga minyak Rusia.

Belakangan muncul isu Rusia gagal membayar utang luar negerinya untuk pertama kalinya sejak akhir Perang Dunia I. Ini salah satu tanda bahwa ekonomi Rusia memang benar-benar tertahan.

Namun, Kremlin membantah bahwa Rusia telah gagal memenuhi kewajiban utangnya. Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov menyebut label default sebagai lelucon. Tapi yang jelas isu ini berpotensi lebih jauh lagi merusak kemampuan Rusia untuk menarik investor dan meningkatkan biaya pinjaman.

“Sementara penguatan mata uang rubel harus dilihat sebagai cerminan dari runtuhnya impor Rusia karena sanksi sementara telah memaksa negara itu mempertahankan kontrol modal yang ketat. Ini berarti bahwa Rusia hanya menghabiskan lebih sedikit rubel untuk impor asing,” kata Tai-Heng Cheng dan Faraaz Amzar.

Dengan peningkatan harga komoditas, Rusia juga telah mencatat surplus perdagangan yang berkembang yang juga menopang rubel. Namun, ada kekurangan pasokan serius untuk barang-barang konsumsi penting. Harga barang-barang konsumsi asing yang diimpor telah naik dan tidak terjangkau oleh rata-rata orang Rusia.

Ancaman lain yakni Putin juga bisa berada di bawah tekanan domestik yang meningkat karena banyak rakyar Rusia yang menderita. Tingkat inflasi yang mencapai level tertinggi dua dekade 17,8 persen pada bulan April dan 20,5 persen untuk harga pangan, jauh lebih tinggi daripada yang dihadapi di Barat.

Pembalasan Putin

Terhadap aksi Barat itu, Vladimir Putin tak tinggal diam bahkan pelan tapi pasti melakukan aksi balasan. Rusia mulai menggangu pasokan komoditas pangan dan energi ke negara-negara musuhnya. Terutama di sektor energi, banyak negara Barat yang sangat bergantung kepada Rusia. Akibatnya pasokannya tersendat.

Presiden Rusia Vladimir Putin menyalahkan negara Barat sebagai penyebab berkurangnya aliran gas alam asal negaranya ke pelanggan Uni Eropa. Ia bahkan memperingatkan bahwa aliran itu akan terus berkurang. Putin mengatakan jumlah gas yang dipompa melalui pipa Nord Stream ke Jerman akan turun lebih jauh dari 60 juta menjadi 30 juta meter kubik per hari.

Pemimpin Rusia itu juga memperingatkan negara Barat bahwa rencananya untuk membatasi pembelian minyak Rusia sebagai bagian dari sanksi, akan mengacaukan pasar minyak global dan membuat harga melonjak. Memang sejumlah negara Barat melakukan pembatasan pembelian minyak dari Rusia sebagai bagian dari sanksi atas langkah negara itu menginvasi Ukraina.

Ancaman Putin ini tentu saja membuat Uni Eropa kelimpungan. Uni Eropa saat ini tengah dibayangi krisis energi dan krisis pangan akibat sanksi yang mereka buat sendiri untuk Rusia. Uni Eropa pun bersiap melemahkan sanksinya kepada Moskow dengan membuka blokir aset di bank-bank Rusia yang terikat dengan perdagangan makanan dan pupuk.

Seperti diketahui, akibat konflik di Ukraina, Uni Eropa sudah memberikan enam paket sanksi ke Rusia, salah satunya memblokir bank-bank milik mereka. Pekan lalu, Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban mengecam kebijakan sanksi Uni Eropa untuk Rusia. Menurutnya, Uni Eropa ingin bunuh diri karena sanksi tersebut malah lebih merugikan Eropa daripada Rusia sendiri.

Yang lebih mengkhawatirkan bahwa tampaknya Rusia sedang mempersiapkan perang yang berkepanjangan. Rusia mempersiapkan pijakan ekonomi saat perang di masa mendatang. Tentu dunia harus terus berjuang dengan tidak membiarkan Rusia melakukan invasi sepihaknya ke Ukraina. Karena taruhannya bukan hanya nasib perekonomian negara dan rakyat Rusia atau Ukraina saja tetapi warga dunia.

Apalagi Bank Dunia juga telah memperingatkan, 95 juta orang akan masuk ke kategori kemiskinan ekstrem dan 50 juta orang akan menghadapi kelaparan parah tahun ini akibat konflik di Rusia dan Ukraina.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button