Derasnya kritik terkait utang memggunung hingga Rp8.502,7 triliun membuat kuping Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani panas juga. Dia pun menyebut pengkritik utang tidak murni karena ditunggangi politik.
Dia bilang, pandangan miring tentang tingginya utang pemerintah saat ini, lebih dipengaruhi perspektif politik.
Masyarakat tak perlu menggubrisnya, karena pemerintah tnetunya sudah menimbang berbagai risikonya. Dengan kata lain, utang dikelola dengan sangat hati-hati.
“Masyarakat Indonesia terbiasa terus-menerus melihat utang itu lebih pada nominalnya. Ya memang ada distorsi dari sisi political perspektif versus dari sisi teknokrasi pengelolaan utang Indonesia,” kata Sri Mulyani, Jakarta, dikutip Jumat (30/8/2024).
Asal tahu saja, utang rezim Jokowi yang sebentar lagi lengser mencapai Rp8.502,7 triliun per Juli 2024. Atau setara 38,68 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Utang pemerintah saat ini didominasi surat berharga negara (SBN) domestik sebesar 70,49 persen. Disusul SBN berbentuk valuta asing (valas) sebesar 17,27 persen, dan pinjaman sebesar 12,24 persen.
Menurut Sri Mulyani, SBN merupakan instrumen investasi dan moneter Bank Indonesia (BI) yang berguna untuk menjaga likuiditas keuangan. Ada satu masa tertentu di mana BI dan pemerintah sepakat bahwa BI akan menggunakan SBN.
“Dalam negara di mana bond marketnya sudah cukup dalam dan likuid, maka kita menerbitkan SBN cukup banyak untuk sebagai instrumen moneter. Kalau kemudian disebutkan ‘jumlah utang pemerintah termasuk SBN’, padahal SBN itu revolve 1 tahun, orang itu bisa agak histeris gitu melihatnya. Padahal itu adalah sesuatu lebih kepada instrumen dari sisi treasury likuiditas,” jelas Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengatakan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus mensosialisasikan kondisi utang pemerintah secara transparan agar tidak memunculkan kekhawatiran berlebihan dari masyarakat. Melihat kondisi di sejumlah negara, ia menilai rasio utang pemerintah Indonesia saat ini masih jauh lebih baik.
“Kita lihat beberapa negara, makin dia mature dan dalam bonds market-nya, mereka nggak lagi ngomongin tentang jumlah utang berapa, kecuali memang kalau defisitnya kronis seperti banyak negara yang kemudian menyebabkan debt to GDP ratio-nya itu sudah di atas 60 persen, bahkan di atas 100 persen,” tuturnya.
“Kalau untuk Indonesia yang sekarang ini masih di 38 persen hingga 39 persen, kita itu sebetulnya lebih fokus membuat pasar obligasi kita makin dalam dan makin likuid sehingga cost issuance dan beban utang bisa ditekan, bukan kepada masalah angkanya gede,” tambahnya.