News

Dilema Megawati dan Strategi Mengusung Capres

dilema-megawati-dan-strategi-mengusung-capres

Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri masih belum memutuskan calon presiden (capres) yang akan diusung di Pilpres 2024. Bahkan Megawati menyangkal adanya informasi yang beredar mengenai sosok Capres 2024 akan diumumkan saat perayaan HUT ke-50 PDIP di JiExpo Kemayoran, Jakarta pada Selasa (10/1/2023).

Dalam bantahan yang dilontarkan saat pidato politiknya itu, Megawati pun terang-terangan dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Jawa menyindir sekaligus mempertanyakan ihwal pengumunan capres.

Ngopo toh yo, orang ini sebetulnya seremonial 50 tahun, karena ini yang ditunggu-tunggu kalau orang main taruhan sudah masang. Sing arep yang diumumke Ibu sopo? Ya nanti dahulu, memangnya aku, situ tepuk tangan, mau tergiur umumkan. Enggak.”

Sekitar setahun terakhir ini sosok capres usungan PDIP memang paling ditunggu-tunggu publik. Dari internal PDIP sendiri santer dua nama calon yang digadang-gadang sebagai kandidat kuat Capres 2024, yaitu Ketua DPP PDIP Puan Maharani dan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo.

Namun dari kedua nama itu, sosok Ganjar terbilang lebih berpeluang lantaran lembaga-lembaga survei selalu menempatkannya di posisi tiga besar yang memiliki elektabilitas tinggi sebagai kandidat Capres 2024. Sebaliknya, Puan yang merupakan anak Megawati elektabilitas dan juga akseptabilitasnya rendah selama ini.

Lantas bagaimana sebenarnya posisi Megawati dalam menentukan capres pilihannya dan juga strategi untuk memenangkan jagoannya di pertarungan pilpres mendatang?

Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Tb. Massa Djafar mencermati Megawati dalam posisi sulit meskipun PDIP bisa mengusung capresnya sendiri tanpa perlu berkoalisi dengan partai politik lain.

Dalam pandangan Tb. Massa Djafar, Megawati sukar jika “memaksa” Puan menjadi capres mengingat akseptabilitas dan elektabilitasnya rendah.

Selain itu, Megawati tidak mampu dengan sumber daya politik yang dimilikinya untuk membangun koalisi alternatif yang tangguh. Kecuali, jika Megawati legowo merelakan anaknya, Puan menjadi calon wakil presiden (cawapres). “Selain itu juga, sikap ‘mbalelo’ Jokowi terhadap garis komando Megawati, semakin mempersempit ruang gerak PDIP,” kata Tb. Massa Djafar dihubungi Inilah.com di Jakarta, Rabu (11/1/2023).

Ketua Program Pasca Sarjana, Program Studi Ilmu Politik Unas ini mencermati Jokowi sudah menjadi kekuatan elite politik baru yang memiliki relasi cukup kuat dengan kekuatan pemodal di belakangnya yang mampu mengendalikan beberapa partai politik.

Di sini, posisi Megawati yang sangat dilematis. Mau tidak mau, mempengaruhi pengambilan keputusan mengusung capresnya lamban. Kecuali, jika Megawati mengubah strateginya, yakni memasang Puan sebagai cawapres. Meskipun hal itu belum tentu mendapatkan pola kombinasi yang ideal dalam upaya memperoleh dukungan luas.

Dengan belum diumumkannya capres usungan PDIP, pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang Ahmad Atang, mengamati peta politik Pilpres 2024 belum bergerak karena semua kekuatan politik masih dalam posisi menunggu.

Oleh karena itu, kata Ahmad, kartu pilpres memang masih dipegang oleh PDIP. Hal ini bukan persoalan karena PDIP sebagai partai yang berkuasa atau menjadi pemenang pemilu, akan tetapi soal figur siapa yang diusung oleh PDIP, yakni Ganjar Pranowo atau Puan Maharani.

Dia mengemukakan pandangan itu terkait peluang koalisi partai banteng pada Pilpres 2024 menjelang pengumuman Capres asal PDI Perjuangan pada 2023.

Saat ini, publik sedang menunggu kejutan yang dibuat PDI Perjuangan, apakah memilih Ganjar Pranowo karena tingkat penerimaan yang tinggi oleh masyarakat atau memilih Puan Maharani karena kepentingan struktural partai.

“Apapun pilihan PDI Perjuangan tentu mempunyai konsekuensi politik. Karena itu siapapun yang dipilih PDIP akan membuat peta politik pilpres akan berubah.”

Jika PDIP memilih Puan sebagai capres maka sangat mungkin tidak ada partai yang mau berkoalisi dengan PDIP karena tidak ada garansi kemenangan pada Pilpres 2024 mendatang.

Pada titik ini, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) akan pecah dan memilih mitra koalisi sendiri. Maka Partai Amanat Nasional (PAN) dan PPP bisa merapat ke NasDem.

Namun sebaliknya, jika PDIP memilih Ganjar Pranowo maka sangat mungkin KIB akan bergabung dengan PDI Perjuangan dengan jaminan calon wakil presiden ditentukan oleh partai mitra koalisi. “Dengan demikian, figur capres dari PDI Perjuangan akan sangat menentukan peta koalisi,” kata pengajar ilmu komunikasi politik pada sejumlah perguruan tinggi di NTT itu.

PDIP sendiri, baginya, tidak mungkin mendukung figur lain selain Puan Maharani dan Ganjar Pranowo. Hanya saja untuk memilih salah satu pasti punya implikasi dan PDIP tentunya meminimalisasi implikasi sekecil mungkin demi meraih kemenangan.

Kepemimpinan Megawati dan Puan

Tb. Massa Djafar menyebut PDIP dikenal sebagai partai  yang menyandang “predikat wong cilik”, dan predikat itu juga melekat pada kepemimpinan Megawati sebagai tokoh kritis dan berpihak kepada wong Cilik. Diksi dan narasi yang kerap muncul di pentas politik mewarnai opini publik ketika masa Orde Baru.

Megawati dikenal sebagai kekuatan politik, antitesis rezim otoriter saat itu. Karena itu Megawati juga dikenal sebagai salah seorang tokoh Reformasi. Namun dalam perjalanan pada era kini, idealisme perjuangan PDIP seperti kehilangan jejak. Justru yang tampak adalah berlawanan dengan apa yang mereka perjuangkan.

“PDIP dikenal sebagai salah satu partai politik yang korup karena banyak kadernya yang terlibat kasus korupsi. Baik di DPR, DPRD, kepala daerah dan pejabat publik. Selain itu, PDIP kurang peduli terhadap isu HAM,” ujar Tb. Massa Djafar.

Selain itu, menurut dia, hal yang paling mencolok adalah kepemimpinan Puan di parlemen tidak menunjukkan pada komitmen meningkatkan kualitas demokrasi, bahkan terkesan antikritik. Para anggota DPR yang dianggap berlawaan dengan pemerintah tidak diberikan ruang menyatakan pendapat dengan mematikan pengeras suara saat sidang paripurna. Padahal banyak cara yang elegan yang bisa dilakukan untuk menghalau atau ingin mengamankan kebijakan pemerintah.

Tb.  Massa Djafar juga mengamati PDIP sebagai partai politik pemenang pemilu gagal memainkan peran sebagai penentu, di mana Jokowi sebagai kader PDIP tidak menunjukkan loyalitasnya sebagai petugas partai. Bahkan cenderung “melawan kebijakan PDIP” dengan Jokowi mempunyai agenda sendiri, termasuk meng-endorse Ganjar Pranowo sebagai tandingan Puan Maharani, sama-sama dari PDIP.

Berbagai persoalan tersebut, berpotensi menggerus elektabilitas PDIP dan juga kader yang bakal diusungnya dalam pertarungan di 2024.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button