Satu dekade pra krisis moneter yang menerpa beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Yoshihara Kunio, seorang pakar dari Jepang menulis buku yang berjudul The Rise of Ersatz Capitalism in South-east Asia (1988).
Dalam buku tersebut Yoshihara mengkritik dan memperingatkan ekonomi Asia Tenggara yang menurutnya digambarkan sebagai “industrialisasi tanpa teknologi”. Asia Tenggara punya semua hiasan-hiasan ekonomi modern; pabrik high-tech, gedung-gedung tinggi menjulang, sistem transportasi kontemporer dan penyedia-penyedia utilitas, tapi tak ada perusahaan lokal yang berskala besar yang menghasilkan produk-produk dan jasa kelas dunia. Sebagai akibatnya, tak ada brand global (Studwell, 2010).
Peringatan Yoshihara menjadi kenyataan. Krisis moneter 1997 mendedahkan dengan jelas bagaimana rapuhnya struktur politik, apalagi struktur ekonomi Indonesia. Ekonomi yang tumbuh dari konglomerasi para taipan menjadi luluh lantak. Yang justru bisa bertahan dari krisis tersebut adalah usaha-usaha ekonomi lokal yang lebih dikenal dengan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Industrialisasi tanpa teknologi, nyatanya masih terjadi hingga saat ini. Tak sulit untuk mengidentifikasi faktanya. Cobalah jawab pertanyaan sederhana ini: Apa produk Industri Indonesia yang menjadi brand global? Kalau Jepang punya Toyota, Korea Selatan memiliki Samsung, Jerman dengan Boeingnya, Amerika Serikat terkenal dengan Apple, lalu Indonesia punya apa? Pun demikian dengan ekspor unggulan Indonesia masih didominasi oleh kelapa sawit, karet, nikel, kakao dan produk pertanian serta pertambangan lainnya.
Secara historis konglomerasi ekonomi bisa dirunut sejak awal kemerdekaan Republik ini. Berlanjut ke zaman Orde Baru, di masa pemerintahan Soeharto, pengusaha non lokal mendominasi ekonomi dibandingkan pengusaha lokal. Sampai saat inipun keadaan tidak banyak berubah.
Setelah nasionalisasi kacau Soekarno atas bisnis asing tahun 1950-an, repatriasi puluhan ribu orang China tahun 1960-an dan pertumpahan darah anti-komunis pada 1965, Soeharto secara refleks berpaling ke para pengusaha China yang dia kenal setelah merebut kekuasaan. Ini berarti segelintir orang bisnis yang relatif tak dikenal dilontarkan ke puncak tumpukan godfather.
Dalam kajian ekonomi, godfather bisa dipadankan dengan taipan, cukong ataupun konglomerat. Yang paling penting adalah rekan lamanya, Mohamad ‘Bob’ Hasan, seorang etnis China yang pindah ke agama Islam, dan Liem Sioe Liong, juga dikenal dengan Sudono Salim. Mereka naik dari pedagang kecil menjadi pengusaha terkemuka dalam waktu yang relatif singkat. Hubungan antara Soeharto dengan kroni bisnisnya yang non lokal benar-benar sangat penting.
Lebih lanjut menurut Studwell (2010), selama masa kekuasaannya, Soeharto menurut orang-orang kepercayaannya di Jakarta, mengeluh bahwa para penguasa lokal tidak bisa dipercaya. Sementara orang China bisa. Di kemudian hari, sejumlah kecil penguasa etnis India dan Sri Lanka juga menjadi piaraan penting. Yang paling terkenal dari golongan ini adalah orang Tamil Sri Lanka, Marimutu Sinivasan, yang telah lama menjadi pemasok dana politik Partai Golkarnya Soeharto. Grup Texmaco milik Sinivasan, dengan otoritas Soeharto, bisa mendapatkan US$ 900 juta dalam bentuk uang kontan (hard currency) dari bank sentral pada puncak-puncaknya krisis finansial Asia dan setelah Soeharto jatuh, dia dinyatakan oleh pemerintah sebagai pengutang nakal terbesar, dengan utang US$ 2 miliar.
Boleh dikata di era Orde Baru ini, pengusaha non lokal betul-betul dimanjakan dengan berbagai previledge yang diberikan. Inilah yang mendorong bagaimana pengusaha non lokal menjadi penyumbang terbanyak daftar orang-orang kaya di Indonesia.
Stereotipe bahwa pengusaha lokal tidak bisa sukses dalam bisnis betul-betul melekat kuat. Apatah lagi kegagalan Program Benteng di masa Orde Lama semakin menguatkan stereotipe ini. Superioritas bisnis non lokal bukan bawaan lahir, melainkan dibentuk oleh kondisi sosial politik. Mereka tidak bisa menjadi petani karena ada aturan yang melarang kepemilikan tanah bagi warga lokal. Begitupun dengan larangan untuk menjadi pegawai atau pejabat negara. Jadi satu-satunya peluang usaha bagi etnis non lokal adalah berwirausaha (entrepreneur). Berawal dari diskriminasi inilah yang justru menjadi jalan untuk mendominasi ekonomi.
Catatan positif mesti diberikan kepada pemerintah pasca Reformasi yang kemudian berhasil menghapuskan diskriminasi di bidang sosial maupun politik bagi etnis non lokal. Mulai dari Presiden B.J. Habibie yang mengeluarkan Inpres Nomor 4 tahun 1999 yang menghapus diskriminasi terhadap etnis non lokal. Gusdur yang dikenal dengan Bapak Tionghoa yang mengeluarkan Keppres Nomor 6 tahun 2000 yang menjadi dasar bahwa penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, adat istiadat China dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini. Kemudian di masa SBY lahir UU Nomor 2 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia.
Sejak itulah warga negara non lokal mulai bebas melaksanakan kegiatan keagamaan mereka, seperti perayaan Imlek, termasuk pula mereka mulai aktif di kegiatan politik dan pemerintahan. Tercatat sudah banyak kepala daerah atau pun Menteri yang beretnis Tionghoa. Sebutlah misalnya Kwik Kian Gie, Enggartiasto Lukito, Mari Elka Pangestu Ignasius Jonan dll.
Demikian halnya di Kabinet Merah Putih saat ini, begitu banyak diisi oleh etnis Tionghoa. Di antaranya Maruar Sirait, Stella Cristie, Veronica Tan dan Irene Umar. Fakta ini menunjukkan kuatnya komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk menghapuskan diskriminasi politik berbasis etnis. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana Prabowo menghapus diskriminasi ekonomi.
Dari Jokowi Ke Prabowo
Langkah strategis yang ditempuh oleh Pemerintahan Jokowi untuk mendorong industrialisasi dimulai dari pembuatan regulasi. Di tahun 2014 pemerintah bersama DPR berhasil membuat Undang-Undang Nomor 34 tentang Perindustrian. Dari sinilah kemudian melahirkan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035. Kebijakan strategis lainnya yang ditempuh oleh Jokowi adalah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi, sebanyak 16 paket kebijakan yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi.
Di sisi lain, pemerintah juga berhasil merampungkan PP No. 24 tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik. Tujuannya sangat jelas mempermudah dan mempercepat proses perizinan, sehingga akan menarik masuknya investasi yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dan yang tak kalah pentingnya adalah pembangunan infrastruktur yang massif di periode pertama Pemerintahan Jokowi. Problem infrastruktur menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi. Karenanya dengan infrastruktur yang semakin banyak dan berkualitas tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang akseleratif.
Sebagai suksesor berbagai kerja positif ini, menjadi modal bagi Presiden Prabowo untuk membangun ekonomi yang inklusif. Membangun ekonomi yang tidak hanya menggandeng pengusaha lokal tapi juga tenaga kerja lokal. Dan ini hanya bisa dilakukan bila berhasil membangun industri. Tentunya dengan industri berbasis teknologi dan padat karya. Karena hanya dengan model industri jenis inilah yang bisa menaikkan nilai tambah produk plus menarik banyak tenaga kerja.
Presiden Prabowo harus mampu mensinergikan kementerian dan lembaga terkait agar berjalan dalam visi yang sama, dalam orkestra yang sama pula. Mensinergikan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Bila ini mampu bersinergi dengan baik, reindustrialisasi akan tercipta dan yang pada gilirannya akan mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif, berkeadilan dan tanpa diskriminasi.
Bagi Presiden Prabowo sendiri, membangun industri adalah upaya mewujudkan mimpi dari mendiang Begawan Ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo yang tak lain adalah Ayahanda Presiden Prabowo.