Keseriusan DPR dalam membentuk Undang-undang Perampasan Aset dipertanyakan di tengah wacana penerapan Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) atau perampasan aset tanpa pemidanaan.
“Masyarakat memandang instrumen UU Perampasan Aset sangat strategis untuk memulihkan kerugian negara, akibat tindak pidana korupsi. Terutama dalam kasus korupsi yang pelakunya sulit dijerat melalui proses hukum pidana konvensional,” kata pengamat hukum dan pembangunan dari Universitas Airlangga (Unair), Hardjuno Wiwoho, Jakarta, Rabu (11/12/2024).
Untuk itu, dia mendorong adanya political will dari DPR untuk segera membahas RUU Perampasan Aset menjadi undang-undang. Meski, implementasi NCB di Indonesia tidak seperti membalikkan tangan. Karena dibutuhkan keberanian politik dan kolaborasi nyata antara pemerintah dengan DPR.
Selanjutnya, pegiat antikorupsi itu, menyarankan DPR segera mengambil langkah konkret dengan mengundang para ahli hukum, organisasi masyarakat sipil, dan publik untuk merumuskan regulasi UU Perampasan Aset yang matang dan dapat diterapkan secara efektif.
Misalnya, rancangan regulasi khusus untuk NCB terpisah dari kerangka hukum pidana seperti UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). “Jika digabungkan dengan UU Tipikor, akan terjadi tumpang tindih yang berpotensi menghambat implementasi NCB,” ujarnya.
Dia menilai, aturan khusus itu akan memberikan kejelasan hukum dan memudahkan implementasi, terutama untuk kasus-kasus di mana pelaku tidak dapat dituntut secara pidana karena meninggal dunia atau kurangnya alat bukti. “Dalam konteks ini, NCB memungkinkan negara tetap dapat merampas aset yang terbukti berasal dari tindak pidana tanpa harus melalui proses pidana,” jelas Hardjuno.
Dia menggarisbawahi berbagai tantangan yang mungkin muncul, terutama resistensi dari sektor politik dan birokrasi. “Tidak sedikit kasus korupsi melibatkan aktor-aktor kuat di ranah politik dan birokrasi, sehingga diperlukan keberanian dan komitmen yang besar untuk mendorong instrumen ini,” tegasnya.
Sebagian besar aset hasil korupsi sering disembunyikan di luar negeri. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkuat perjanjian bantuan hukum timbal balik dengan negara lain. “Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia berhasil memanfaatkan NCB untuk menarik aset koruptor yang disembunyikan di luar negeri. Saya kira, Indonesia perlu belajar dari mereka,” tambahnya.
Hardjuno mendesak DPR untuk segera menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi dengan mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset. “DPR harus melibatkan para ahli hukum dan masyarakat untuk memastikan RUU ini tidak hanya kuat secara hukum, tetapi juga relevan dengan kebutuhan pemberantasan korupsi di Indonesia,” katanya.
Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR, Martin Manurung, mengatakan, pihaknya telah menggelar rapat pleno yang menindaklanjuti surat dari Deputi Bidang Kerja Sama dan Strategi PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Traksaksi Keuangan) terkait RUU Perampasan Aset.
“Intinya (PPATK) mengajukan permohonan audiensi mengenai usulan RUU tentang Perampasan Aset terkait tindak pidananya,” papar Martin, di kompleks parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (4/12/2024).
Politikus NasDem ini, mengatakan, permohonan tersebut telah ditindaklanjuti dengan surat undangan dari pimpinan DPR kepada Kepala Pusat PPATK. Namun, menjelang rapat, PPATK menyampaikan secara lisan bahwa mereka perlu menyempurnakan materi paparan dalam pleno.
“Sehingga, pimpinan memutuskan agar rapatnya ditunda sampai adanya surat dari PPATK. Setelah mereka siap untuk menyampaikan paparan di pleno Baleg,” ujarnya.